Rabu, 05 Oktober 2011

MENGENANG WS RENDRA, MENGINGAT ALIMIN LASASI


KEPERGIAN seorang tokoh untuk selamanya selalu saja belakangan terungkap kebenaran-kebenaran pikirannya, sekaligus jadi kenangan yang selalu dirindukan.WS Rendra (1935-2009) salah satu tokoh penting yang dikenang itu bukan saja meninggalkan banyak murid-murid yang diajar secara  langsung (dekat), tapi juga memiliki  murid  tidak langsung (jauh) hanya  lewat pertemuan buku-buku puisi. Tak terkecuali  di Kota Palu ada banyak murid-murid WS Rendra walaupun mereka hanya sekali atau bahkan sama sekali tak pernah bertemu.
Rendra selalu saja menarik untuk dibaca kembali, ditafsir dari berbagai sudut pandang. Sebagai  begawan budaya Indonesia, ia adalah sosok yang sarat sebutan; penyair, cerpenis, esais, sutradara, dramawan,  pemain film, dan lainnya. Sebagai pembaca dan penulis, saya salah satu di antara sekian orang yang baru sekali melihat sosok Rendra dari dekat yang sebelumnya hanya menemui lewat puisi-puisinya maupun hanya membaca tulisan-tulisan tentang sosoknya atau pun kritik tentang pertunjukannya.

WS Rendra Dikritik Alimin Lasasi
Lewat tulisan mengenang Rendra, maka dengan ini pula saya rangkaikan mengingat Alimin Lasasi (1939-1989). Sosok ini memang tak setenar Rendra dan di Kota Palu sendiri namannya nyaris terlupakan di kalangan seniman terutama generasi yang kini baru berkutat di ranah kesenian. Secara singkat akan dipaparkan keterkaitan Rendra dengan Alimin Lasasi yang tidak banyak orang ketahui. Keduanya bersahabat, Alimin seniman teater dari Palu semasa hidupnya pernah berkiprah di forum nasional dengan menjadi “tulang pungggung” Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya di Jakarta dekade 70-an hingga 1989.
Masa itu Bengkel Teater Rendra sedang dalam puncak produktif, demikian halnya Mandiri. Kedekatan Alimin dengan Rendra tidaklah membuat seniman asal Palu itu ragu untuk melakukan kritikan-kritikan sejumlah pertunjukann karya Rendra dalam bentuk esai yang dipublikasikan di beberapa harian terbitan Jakarta waktu itu. Dalam  Harian Angkatan Bersenjata, edisi 26 Juni 1976, misalnya  Renda mendapat kritikan ulasan dari seorang Alimin bertajuk;  “Maccbeth”nya Rendra: Upacara pembacaan puisi? Dalam artikel itu lebih dahulu Alimin memberi ulasan tentang  Shakespeare sebagai pengarang.
 “Macbeth” karya Shakespeare agaknya tidak memadai kalau kita omongkan hanya dengan beberapa perkataan saja. Padahal orang sudah begitu banyak membaca dan mendengarnya. Tapi bukan itu soalnya. Apakah yang sebenarnya akan diungkapkan Rendra lewat pementasannya yang justru memilih “Macbeth” sebagai lakonnya pada 4-6 Juni ybl?” tulis Alimin mendeskripsikan tentang pementasan Rendra sekaligus menggambarkan  sosok Macberh di tangan Rendra antara pujian dan kritik analisis.
Di mata Alimin, dibanding dengan pemain-pemain lain,  Rendra terlalu menggembung sendiri. Adegan perkelahian yang mendemostrasikan silatnya, seperti film Mandarin atau “Sati ici”nya Jepang saja dalam pertunjukannya itu. Kata Alimin untungnya latar panggung  dan perlampuan yang begitu hebat yang ditangani Rudjito.  Namun demikian, di satu sisi Alimin mencermati pertunjukan Rendra dalam “Macbeth” sebagai penampilan priodiknya di TIM terasa hanya mengandalkan kekuatannya pada variasi dandanan latar depan dan latar belakang panggung yang baik belaka.Sehingga lebih banyak meninggalkan kesan sebagai suatu pertunjukan pembacaan puisi yang sempurna.
Bukan hanya itu, dalam sebuah pertunjukan lain, Rendra juga mendapat ulasan dan kritikan dari Alimin terhadap pertunjukan naskah HAMLET yang sebelumnya  juga mendapat tanggapan dari Gunawan Mohammad. Tulisan itu dimuat   Harian Berita Buana, Senin 7 Februari 1977 berjudul;  Kenapa Mesti Hamlet? KRITIK ATAS W.S. RENDRA KONTRA–KRITIK ATAS GOENAWAN MOHAMAD.
Kalau sebelumnya Goenawan Mohamad memberi pujian terhadap pertunjukan Rendra yang dimuat  Tempo, 25 Desember 1976, Alimin sebaliknya selain mendeskripsikan kekuatan pertunjukan sekaligus memberi kritikan.  “Kita rada kelabakan juga jadinya. Sulit bagi kita untuk memperoleh gambaran yang sebenarnya tentang pementasan itu sendiri, termasuk bagi orang yang telah menyaksikan dan tahu betul apa adanya pertunjukan itu. Goenawan di dalam tulisannya itu semata-mata hanya mau memberi pujian kepada Rendra tanpa mau membukakan cacatnya sama sekali.” tulis Alimin dengan nada kritis.

Menurut pengamatan Alimin waktu itu,  kalau dipikir-pikir dan dirasa-rasa bahwa pementasan Hamlet Rendra itu biasa saja, tidak berapa istimewa dan bukannya tanpa cacat, karena itu Alimin mempertanyakan kenapa Goenawan harus mengkait-kaitkan seni peran yang ditampilkan dalam Hamlet Rendra itu sesuai dengan yang dikehendaki oleh Stanislavsky, guru tehnik peran yang masih kita percaya itu. Karena itu pula  Alimin berpendapat; Hamlet memang tak dapat dimainkan persis seluruhnya seperti Hamletnya Shakespeare, sebab pertunjukan mungkin memakan waktu enam jam. Rendra terpaksa harus menyadur, memilih, mempersingkatnya, dan memotong-motongnya. Sehingga jadinya hanya ada lakon Hamlet yang lebih miskin dari Hamletnya Shakespeare, tetapi mungkin juga Hamlet yang diperkaya oleh situasi dan jaman kita.
Yang menarik, dari tulisan Alimin tentang karya-karya Shakespeare adalah pemahaman yang mendalam secara tekstual yang kemudian mampu ditafsirkan secara kontekstual ketika sudah diolah dalam pentas drama. Karena itu menurut penilaiannya, Hamlet bisa disimpulkan bermacam-macam : dijadikan kronik sejarah, roman dektektif, atau sebuah drama psikologi. Tinggal mau pilih, mana suka. Tapi mestilah tahu untuk maksud-maksud apa dan sebab alasan-alasan mana kita memilih. Hal ini yang tak jelas bagi saya pada pertunjukan Hamlet Rendra itu (Alimin, 1977).

Rupanya ketajaman pisau analisis Alimin ditunjukkan pula bahwa  Hamlet Rendra 1976 tidak lebih menarik, lebih meriah, lebih spektakuler, lebih brutal dan lebih menggebrak dibanding dengan Hamlet Rendra 1971. Alimin yang waktu itu masih jadi mahasiswa LPKJ menilai Rendra waktu itu  masih teguh berpegang pada gaya realis yang Aristotelian. Namun demikian soal perbedaan menilai sebuah pertunjukan, Alimin menutup artikelnya; Dengan demikian, maka sempurnalah perbedaan antar Goenawan Mohamad dan Rendra disatu fihak dengan penulis di fihak lain.
Itulah sepintas penilaian  Alimin Lasasi, seorang anak negeri dari Kota Palu yang pernah merambah jagad teater di Jakarta, bergaul dengan banyak seniman besar, termasuk Rendra yang sering dicermati pertunjukannya. Tulisan ini ini pun saya lahirkan setelah meminjam pikiran-pikiran Alimin lewat tulisan-tulisannya, sebab saya yakin tak banyak yang tahu untuk tidak mengatakan tak ada orang yang tahu. Hal tersebut menunjukkan kebesaran Rendra bukan karena mendapat puja-pujian, tapi justru sebaliknya sepanjang perjalanannya di panggung teater karena banyak mendapat kritikan dan ulasan dari berbagai sudut pandang. Sebelum meninggal dunia, sebuah buku  bersisi ratusan tulisan tentang sejumlah pertunjukan  teater Rendra menunjukkan betapa besarnya sang budayawan itu. Salah satu tulisan di dalamnya adalah yang pernah ditulis Alimin Lasasi.
Seandainya Alimin masih hidup sewaktu Rendra berpulang, kemungkinan penerobos kebekuan teater di Palu pada masanya itu akan  kembali menulis tentang sosok  Rendra yang luar biasa. Namun Tuhan menghendaki lain, Alimin  sendiri lebih awal mendahului sahabatnya, ia berpulang pada  28 September 1989 dalam kesunyian tanpa publikasi. Kecuali  Putu Wijaya, mengenang secara khusus tentang Alimin  dalam bentuk naskah Monolog berjudul BOS dan AENG di Majalah Horison. Selamat jalan Rendra, selamat jalan Alimin.*
Selengkapnya...