Sabtu, 20 Februari 2010

POLITISI KOTA PALU DI PANGGUNG KESENIAN


Oleh : Jamrin Abubakar

KETIKA musim kampanye Pemilu tahun 2004 dan 2009 lalu, beberapa seniman Kota Palu masuk ke arena politik dalam bentuk pengurus partai politik dan kemudian menjadi calon legislatif. Dan itu sebetulnya bukanlah hal baru. Sejak puluhan tahun silam hal serupa sudah lumrah politisi menjadikan media seni untuk berpolitik. Hasilnya ada yang sukses dan ada pula yang belum tercapai.
Paascareformasi beberapa seniman di Kota Palu secara terang-terangan menyatakan masuk ke ranah politik. Di antara mereka bertarung dengan politisi tulen yang selama ini memang telah menjadi ladangnya. Fenomena seniman merambah politik mungkin ingin membuktikan bahwa mereka bersuara tak ingin lagi hanya lewat karya-karya kreatif mereka, tapi betul-betul sudah masuk dalam peta politik praktis.
Selengkapnya...

’PENDEKAR' SULAWESI TERANCAM PUNAH

Oleh: JAMRIN ABUBAKAR

Tahun 2006 dan 2008 lalu, saya pernah menulis artikel tentang "PENDEKAR" SULAWESI TERANCAM PUNAH.Untuk itu saya kembali menampilkan di blog ini dan dapat dijadikan sumber bacaan atau referensi, selama MENYEBUTKAN SUMBERNYA.

Monyet (Macaca Sulawesi)

Macaca Sulawesi hanya terdapat di Sulawesi. Khusus Sulawesi Tengah terdapat tiga jenis, yaitu Macaca hecki atau dalam bahasa daerah buol disebut Dige dan Bangkale dalam bahasa dondo penyebarannya mulai dari provinsi Gorontalo sampai wilayah Sindue Kabupaten Donggala, Pantai Timur Kabupaten Parigi Moutong.

Di bukit Bale Kecamatan Banawa tiga tahun lalu masih terlihat bergerombol namun saat ini dengan dibukanya areal perkantoran sehingga tidak pernah terlihat lagi. Jenis Macaca Tonkeana yang biasa disebut ceba atau ibo (Napu), boti (Poso), penyebarannya cukup banyak di Sulawesi Tengah dari batas komunitas Macaca hecki di bagian Selatan hingga kekawasan Kabupaten donggala, Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai hingga ke sebagian wilayah Sulawesi Selatan (Palopo Utara). Hidup dalam hutan sampai ketinggian 1800 mdpl. Makanannya berupa pucuk daun, jagung, buah-buahan, umbi-umbian dan beberapa jenis serangga.

Dige memiliki ukuran tubuh lebih pendek dan kecil dari pada boti. Jenis fonti (macaca togeanuuus/balantakensis) yang hanya terdapat di Kepulauan Togean Banggai Barat (balantak). Ketiga jenis monyet tersebut termasuk dari delapan endemik Sulawesi yang mengalami keterancaman dan kepunahan yang disebabkan oleh perburuan petani yang menganggapnya pengganggu tanaman dan penyempitan habitatnya akibat penebangan hutan untuk lahan perkebunan.

Jenis macaca lain di Sulawesi yaitu Dare (Macaca maura) sebarannya di kawasan Sulsel, Monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra) sebarannya di Sulut, Dihe (Macaca nigrescens) sebarannya di Gorontalo/ Sulut, Hada (macaca ochreata) sebarannya di Sultra, endoke (Macaca brunnescens).Pedesaan monyet biasa di jadikan hewan piaraan dengan terlebih dahulu dirantai atau di kurung untuk diperjual-belikan dan sumber pedaging. Guna menjaga kelangsungan monyet khas Sulawesi, pemerintah telah mengeluarkan aturan perlindungan berdasarkan Undang-Undang no. 5 tahun 1990 diperkuat dengan aturan perlindungan sebelumnya dengan SK Menteri pertanian, tertanggal 29 januari 1970 no. 421/Kpts/um/8/1970 dan di tambah SK Menteri kehutanan, tertanggal 10 juni 1991 no.301/Kpts-II/1991.

Musang Sulawesi dikenal sangat pemberani menjelajah di waktu malam,sedang siang hari dimanfaatkan untuk tidur atau istirahat di bawah pohon yang rindang atau di tempat yang tertutup. Setiap berjalan tidak pernah bergerombol, paling hanya sepasang atau kadang sendirian. Hewan ini Merupakan satu-satunya hewan pemakan daging asli di Sulawesi yang hidup liar di tengah hutan rimba dan kadang bersembunyi di semak-semak untuk menunggu mangsa lewat. Kelebihannya mengintai dan berjalan dibalik semak-semak nyaris tak terdengar, merupakan kelihaian tersendiri dalam menyiasati calon mangsa. Musang sulawesi lebih besar dibandingkan dengan musang yang terdapat ditempat lain, sehingga dianggap musang raksasa. Terdiri dari dua jenis yang diidetifikasikan dari warna kulitnya, yaitu pertama berwarna coklat kehitam-hitaman (Macrogalidia musschenbrokii). Jenis kedua berwarna merah abu-abu (Viverra tangalunga), merupakan jenis yang umum ditemui, bukan hanya di Sulawesi, tapi juga dipulau-pulau lainnya. Selain disebut musang atau Cipet juga memiliki nama lokal sesuai bahasa daerah setempat.

Di sekitar kawasan suaka alam gunung sojol, penduduk di sana menyebutnya Cingkalung dan Hulaku bagi suku Lore di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) Sulawesi Tengah. Dibandingkan dengan jenis Viverra tangulanga, jenis Macrogalidea musschenbroekii lebih besar dan panjang seperti anjing kampung mencapai maximal 10 kg dan panjang dari kepala sampai ekor berkisar 130 cm. Paling khas dan termasuk indemik, hampir sama dengan Kus-kus Sulawesi (Phalanger clebensis) yang juga merupakan hewan menyusui khas Sulawesi yang sekerabat beruang.

Sedang jenis Viverra tangalunga, agak kecil dan pendek yaitu sebesar kucing kampung yang dewasa, berat maksimal hanya mencapai 7 kg. Namun keduanya memiliki bentuk dan penampilan fisik mirip kucing kampung, termasuk sifatnya, suka keluar malam dan memiliki hobi memanjat pohon sekedar main-main.sehingga di masukkan sekerabat dengan kucing yang juga menyusui sebagai famili Viverridae perkembangbiakannya dengan cara melahirkan.

Bentuk susunan giginya kecil dan tajam seperti halnya gigi kucing dan memiiliki kuku atau cakar yang tajam di gunakan sebagai senjata menyerang musuh atau menangkap mangsa dan sebagai perekat saat memanjat/mencakar pohon. Pendekar pencuri ayam.

Walaupun sama-sama bisa memanjat pohon seperti kucing, tapi musang Sulawesi dalam memanjat pohon lebih akrobatik dan lincah, waktu memanjat (naik) maupun turun kepalanya tetap terlebih dahulu. Sedangkan kucing umumnya bila menuruni permukaan yang tegak, akan mengalami kesulitan. Keahliannya memanjat dan menuruni pohon dalam bentuk tegak itulah, sehingga diberi gelar hewan pendekar hutan Sulawesi.

Di sulawesi, sebarannya ditemukan (tapi sudah langka) di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), pegunungan Tokalekaju, kawasan Pantai Barat Donggala, Gunung Ambang, Gunung Rantemario Gunung Sojol dan beberapa kawasan lain. Makanannya berupa hewan kecil menyusui seperti tikus, tupai, anak babi, dan burung-burung kecil, ayam serta telur, juga makan buah-buahhan seperti pisang, dan buah palem atau buah enau (arenga pinnata) yang telah masak merupakan buah kegemarannya. Mencari makan pada malam hari, dengan ketajaman penglihatan menembus keglapan malam. Memiliki kemampuan investigasi mencari calon mangsa, dalam jarak beberapa meter bisa terdeteksi.

Sebagian penduduk pedesaan di Sulawesi Tengah mempercayai musang memiliki kekuatan hipnotis, setiap melakukan operasi malam untuk mencari mangsa, walaupun tidak memanjat ketempat ayam yang sedang tidur. Hanya dengan tatapan matanya sambil mengibas-ngibaskan ekornya ke arah ayam yang sedang berada di atas teratak, dalam tempo beberapa menit saja ayam bisa jatuh ke tanah, lalu diterkam hingga dibawa lari ke hutan. Tetapi sebaliknya, predator utamnya adalah sawa atau ular sanca (Phyton reticulates) yang juga banyak terdapat di hutan Sulawesi.

Kegemarannya makan buah palem atau enau mengakibatkan di beberapa kawasan hutan di Sulawesi, banyak ditemui tumbuhan palem sejenis enau. Hal ini menunjukkan, keberadaan tumbuhan ini tidak lepas dari peran musang yang melakukan penyebaran biji-biji enau. Musang yang makan buah enau masak dengan cara ditelan, begitu mengeluarkan kotoran, maka biji enau yang bentuknya bulat keras itu akan diberaki, kemudian tumbuh di mana-mana. Maka petunjuk yang terbaik untuk mengidintifikasi sebaran hewan ini, salah satu cara adalah mencari dimana banyak tumbuhan enau, di situ memungkinkan menjadi habitat musang.

Pohon enau selain menjadi sumber makanan bagi hewan, juga memiliki banyak fungsi bagi kehidupan penduduk setempat, di antaranya penghasil nira (air tuak) yang dapat diolah menjadi gula merah, daunnya dijadikan atap rumah, buahnya yang masih mudah dapat dijadikan manisan dan lainnya.

Menurut cerita masyarakat Behoa di dataran tinggi lore, kabupaten poso, zaman dulu nenek moyang suku ini sangat gemar memelihara musang. Dipelihara seperti anjing yang dimangfaatkan untuk berburu babi hutan (Sus celebenis) dan rusa (cervus timoerensis) dalam hutan. Namun dalam perkembangan pemeliharaannya, sangat menjengkelkan dan terbilang sulit, mesti selalu diberi perhatian yang lebih banyak dibandingkan anjing peliharaan. Tradisi memelihara musang bagi suku Behoa ini sejak awal abad ke 20, sudah di tinggalkan, karena faktor kesulitan, maka hewan ternak yang ada di sekitar rumah jadi sasaran dan tidak segan melukai orang.

Konon nenek moyang Behoa dan Napu memiliki kepercayaan dalam setap memelihara musang hanya diperbolehkan sampai 9 ekor, kalau lebih akan berakibat fatal, musang jadi galak menerkam tuannya (pemelihara). Benar-tidaknya cerita tersebut, sulit di percaya di alam pikiran terkini, tapi begitulah mitos tentang musang bagi suku Behoa, Sulteng zaman dulu.

Data yang dikumpulkan penulis dari kawasan pantai barat Sulawesi Tengah, terutama dekat hutan Desa Balukung, Kecamatan Sojol dan Desa Tompe Kecamatan Sirenja Kabupaten Donggala, umumnya musang yang terperangkap jerat tidak disengaja.

Kebetualan saja penduduk setempat sering memasang jerat untuk menangkap Ayam hutan (gallus-gallus), tapi justru musang yang sering terperangkap.mengkin disebabkan saat ayam sedang berada didekat jerat tiba-tiba saja musang Yang telah mengintai langsung menerkam ayam, sehingga malah bernasib sial. Semakin langkanya Musang Sulawesi, justru saat ini menjadi daya tarik sebangian orang mulai meliriknya untuk diawetkan dalam kotak kaca sebangai perhiasan souvenir buat pajang di ruang tamu.

Walaupum Musang Sulawesi telah ditemukan 100 Tahun lebih, tapi kini keberadaanya tidak begitu populer dibanding anoa (Bubalus sp) dan Babirusa (Babyroussa babirusa) banyak mengundang minat peneliti.

Chirs Wemmer dan D. Watling, dua ilmuan dari Barat pernah melakukan penelitian kehidupan musang dan habitatnya dikawasan TNLL dan berhasil melakukan pemotretan dengan menggunakan teknologi infra merah, kemudian menghasilkan tulisan; Ekologi and the sulawesi Palm civet, Macrogalidia musschenbroekii (Tahun 1986). Itulah yang kemudian menjadi rujukan konservatoris berikutnya, termasuk dalam penyusunan buku The Ecology of Sulawesi terbitan gajah Mada University Press (Tahun 1987); Anthony J Whitten bersama Muslimin Mustafa dan Gregory S Henderson, hanya sedikit mendiskripsikan tentang musang Sulawesi.

Kuskus Sulawesi (phalanger celebensis) `

Pendekar yang tak kalah uniknya sekaligus makin langka adalah kuskus khas Sulawesi dengan ciri-ciri berbulu tebal seperti beruang, penghuni pohon-pohon di hutan lebat sebagai habitatnya. Khusus kuskus Sulawesi, merupakan jenis paling kecil di antara kuskus yang terdapat di pulau-pulau lain, ukuran panjang badan hanya 34 cm. Mencari makanan buah-buahan dan daun-daun pada malam hari, sehingga disebut pula sebagai hewan malam.

Di pulau Sulawesi (termasuk di pulau Peleng dan Selayar) teridentifikasi ada empat jenis kuskus, yang paling besar disebut kuskus Beruang (Phalanger ursinus) berwarna pirang tua. Kebalikan dari yang kecil, jenis besar ini keluar mencari makan pada siang hari, ukuran yang pernah diidentifikasi yaitu antara kepala-badan sekitar 45 cm dan ekornya 55 cm.

Jenis lain hanya terdapat di Pulau Peleng, Banggai Kepulauan yang disebut Phalanger phalengenis. Ada pula jenis tersendiri yang hanya terdapat di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan yang disebut Phalanger maculates dengan ciri bulu berbintik-bintik. Umumnya memakan buah-buahan, ketimun, pucuk bambu, dan dedaunan.

Kuskus memiliki kemiripan dengan Kungkang khas Amerika Tengah dan Amerika Selatan, secara umum mempunyai kebiasaan bergantung di pohon dengan mengikat ekornya sebagai pengikat.

Ekornya cukup kuat bila merekat di kayu, bahkan berfungsi sebagai alat pengikat dengan melilitkan ujung ekornya pada suatu benda yang lebih berat dari tubuhnya untuk ditarik ke atas pohon. Memiliki gigi yang kuat dan tajam sehingga bila menggigit lawannya, sulot dilepaskan. Kuku cakarnya, selain berfungsi sebagai senjata yang sangat berbahaya bagi musuh yang menyerangnya, juga sebagai perekat saat memanjat pohon kayu.

Hewan menyusui ini sangat liar seperti musang berinsting tajam terhadap makhluk asing, bisa cepat mebghindar atau bersembunyi bila akan membahayakan dirinya, tapi tidak segan-segan melawan saat terdesak.

Di Sulteng umumnya terdapat di kawasan Taman Nasional Lore Lindu dan beberapa kawasan Konservasi. Nah akankah pendekar-pendekar itu bisa bertahan dalam beberapa tahun ke depan? Tergantung rasa kepedulian manusia melestarikan habitatnya.

dari: JAMRIN ABUBAKAR
Selengkapnya...

Minggu, 14 Februari 2010

MENGENANG WS RENDRA, MENGINGAT ALIMIN LASASI

Oleh Jamrin Abubakar

KEPERGIAN seorang tokoh untuk selamanya selalu saja belakangan terungkap kebenaran-kebenaran pikirannya, sekaligus jadi kenangan yang selalu dirindukan. WS Rendra (1935-2009) salah satu tokoh penting yang dikenang itu bukan saja meninggalkan murid-murid yang pernah diajar secara langsung (dekat), tapi juga memiliki murid tidak langsung (jauh) hanya lewat pertemuan buku-buku puisi. Tak terkecuali di Kota Palu ada banyak murid WS Rendra walaupun mereka hanya sekali atau bahkan sama sekali tak pernah bertemu.
Rendra selalu saja menarik untuk dibaca dan ditafsir dari berbagai sudut pandang. Sebagai begawan budaya Indonesia, ia adalah sosok yang sarat sebutan; penyair, cerpenis, esais, sutradara, dramawan, pemain film, dan lainnya. Sebagai pembaca dan penulis, saya salah satu di antara sekian orang yang baru sekali melihat sosok Rendra dari dekat yang sebelumnya hanya menemui lewat puisi-puisinya maupun hanya
Selengkapnya...

Selasa, 09 Februari 2010

HENTIKAN EKSPLOITASI SENIMAN

OLEH: Jamrin Abubakar

SIAPA seniman atau pun kelompok seni di Kota Palu atau di Sulawesi Tengah umumnya jadi “besar” dan sukses atas pembinaan lembaga kebudayaan pemerintah?
Pertanyaan tersebut telah saya lontarkan tahun 2008 silam dalam jaringan email (milis) yang kemudian mendapat banyak tanggapan dan sorotan terhadap beberapa seniman birokrat dan lembaga Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) yang selama ini memiliki “kekuasaan” dalam proyek seni budaya. Selain di milis, tulisan ini pun pernah dimuat di sebuah media, kemudian penulis aktualisasikan kembali sesuai konteks terkini.
Soal pertanyaan siapa seniman jadi besar karena dibina lembaga kebudayaan, silahkan pembaca
Selengkapnya...

Nooral Baso BANGKIT DENGAN SONETA COMBERAN

Oleh: Jamrin Abubakar

NOORAL BASO (66) salah satu di antara penyair Kota Palu yang terlupakan, kini bangkit kembali setelah dua dasawarsa tidak pernah aktif di ranah publik seni untuk menampilkan karya-karyanya. Namun akhirnya, Dewan Kesenian Palu (DKP) lewat program komite sastra, menyiapkan penerbitan kumpulan puisinya dalam sebuah buku berjudul Soneta Comberan.

Nooral Baso sebetulnya meruapakan salah satu penyair yang cukup produktif dan aktif pada zamannya dalam berbagai bidang kesenian sewaktu masih berdinas di Kanwil Depdikbud Sulteng pada dekade 70-an dan 80-an. Karya-karya puisinya sering dibacakan oleh para pelajar maupun pencinta puisi masa itu dalam momen peringatan hari-hari nasional maupun di acara lomba baca puisi. Selain itu puisi-puisinya juga sering disiarkan RRI Palu tahun
Selengkapnya...