Selasa, 08 Desember 2009

KAKULA KAILI DI AMBANG KEPUNAHAN



Mungkinkah kakula sebagai salah satu instrument musik To Kaili punah? Sebuah pertanyaan yang memerlukan jawaban yang dil dari pihak pemerintah yang kadang mengambilalih dalam pembinaan kebudayaan.
MUSIK Kakula merupakan salah satu khazanah budaya Kaili yang berada di kawasan pesisir dengan nuansa Islami. Walaupun secara umum di masing-masing negara di Asia memiliki fungsi sosial sesuai latar belakang kebudayaan dimana gamelang, nama populer bagi masyarakat Jawa itu berada.
Menurut seorang musikolog di Palu Amin Abdullah yang menyelesaian magister musiknya di Universitas Hawaii, pada masyarakat Kaili di Sulteng, kakula digunakan untuk memberi tahu adanya hajatan bagi orang Kaili terutama menyambut pesta perkawinan. Instrument kakula juga status signifier bagi rumpun keluarga yang menggunakannya dan budaya gong bagian dari kakula ini tersebar di hampir semua kepulauan di Indonesia, begitu pula di beberapa negara Asia Tenggara.
Kakula sebagai penanda suatu hajatan bagi orang Kaili sudah cukup lama menjadi bagian nuansa kebudayaan, diperkirakan ratusan, bahkan ribuan tahun silam. Namun belakangan ada kecenderungan di beberapa komunitas yang dulunya menjadi ritme suasana di suatu kampung, belakangan tak lagi dimainkan, kalau pun ada sudah mulai berkurang pendukungnya.
Hal ini dibuktikan dari hasil survey yang dilakukan tim pelatihan kakula Dewan Pembina dan Pengembang Budaya Kaili belum lama ini, mendapat informasi di beberapa tempat (kelurahan, dulu kampung) menyebutkan, beberapa puluh tahun lalu, kakula masih ada. Tapi kemudian tak ada lagi disebabkan pelanjut atau yang memainkan instrument tak ada lagi dan juga disebabkan alat yang pernah ada sudah rusak dan tak ada penggantinya.
Sekedar contoh, di masyarakat Tavaili (dulu Kecamatan Tavaili) yang kini terbagi dalam beberapa kelurahan dalam wilayah Kecamatan Palu Utara, ternyata tak ada lagi alat kakula. Informasi yang diperoleh, alat yang pernah ada sudah rusak, sehingga beberapa orang-orang tua, umumnya perempuan antara usia 60-an hingga 70-an sudah jarang main kakula.
Padahal di Tavaili masih ada beberapa pemain kakula yang cukup dikenal, di antaranya Hj. Rahmah, Siti Hafsah dan Ny. Najiziah. Begitu pula di beberapa kelurahan di Palu Timur, Palu Barat dan Palu Selatan, pernah memiliki alat kakula dan dimainkan setiap ada hajatan kaitannya dengan adat, kini sudah jarang dimainkan. Di Tavanjuka, Palu Selatan misalnya, beberapa orang tua masih piawai mengajar walaupun tak memiliki alat, karena pada zamannya cukup “tamat” sebagai pemain kakula.
Maka ketika Dewan Pembina dan Pengembang Budaya Kaili melaksanakan pelatihan dengan metode menyerahkan pada masyarakat setempat yang memiliki alat dan guru kakula, sedikitnya memerlukan waktu bagi tim untuk melakukan survey. Ternyata alat kakula kurang dimiliki walaupun di suatu kampung masih ada pengajar dan kadang dimainkan dalam hajatan, karena alat yang dipakai disewa atau dipinjam dari kerabat di kampung lain.
Tidak heran kalau banyak yang menyarankan, sebaiknya pemerintah dalam memajukan kebudayaan atau kesenian Kaili, mestinya dalam bentuk memfasilitas, semacam kakula. “Soal kemungkinan tradisi kakula punah, tidak akan terjadi selama alat yang bersangkutan tetap ada, kendala yang terjadi selama ini terancam punah dan orang tak memainkan karena alat memang yang tak ada,” kata seorang staf Kantor Lurah di Baiya, Palu Utara.
Pendapat senada juga banyak dilontarkan warga di beberapa kelurahan, termasuk di Kelurahan Kayumalue, masyarakat setempat sangat mengharapkan pemerintah membantu pengadaan alat kakula, walaupun di kelurahan ini sudah ada kakula satu set, tapi menurut mereka alat itu milik sekolah tak bisa dibawa keluar untuk kegiatan di masyarakat.
Yang menarik di Kelurahan Pantoloan, ada satu keluarga bernama Hj. Makedia (68 tahun) yang memiliki lima set alat kakula yang terdiri dari kakula, gong dan gendang. Alat ini diperoleh dari peninggalan orang tua turun temurun, sampai sekarang masih terawat baik dan sering digunakan kalau ada pesta perkawinan.
Sedangkan di Kelurahan Tipo, Palu Barat, ada satu set kakula dari tiga yang pernah ada, namun dua yang sudah rusak. Alat ini milik Ina Soho (70 tahun), diperoleh dari Abdul Azis Lamadjido ketika menjabat Bupati Donggala dengan cara menukar beberapa lembar sarung Donggala. Alat inilah yang kini dimanfaatkan Ibu Adomi (59 tahun) kerabat keluarga Ina Soho dan menjadi salah satu guru kakula di Tipo.
Dari sepintas gambaran tersebut, menunjukkan kakula sebagai salah satu khazanah budaya Kaili, perlu dipertahankan dengan catatan bukan saja penggalian spirit pembinaan di kalangan generasi mudanya yang direvitalisasi. Tapi mesti dilakukan pegadaan alat sebagai bagian revitalisasi untuk melestarikan dan membangkitkan kembali tradisi khas Kaili, walaupun di daerah lain juga memilikihnya, tapi garapannya berbeda. (JAMRIN ABUBAKAR)

Tidak ada komentar: