Sabtu, 20 Februari 2010

POLITISI KOTA PALU DI PANGGUNG KESENIAN


Oleh : Jamrin Abubakar

KETIKA musim kampanye Pemilu tahun 2004 dan 2009 lalu, beberapa seniman Kota Palu masuk ke arena politik dalam bentuk pengurus partai politik dan kemudian menjadi calon legislatif. Dan itu sebetulnya bukanlah hal baru. Sejak puluhan tahun silam hal serupa sudah lumrah politisi menjadikan media seni untuk berpolitik. Hasilnya ada yang sukses dan ada pula yang belum tercapai.
Paascareformasi beberapa seniman di Kota Palu secara terang-terangan menyatakan masuk ke ranah politik. Di antara mereka bertarung dengan politisi tulen yang selama ini memang telah menjadi ladangnya. Fenomena seniman merambah politik mungkin ingin membuktikan bahwa mereka bersuara tak ingin lagi hanya lewat karya-karya kreatif mereka, tapi betul-betul sudah masuk dalam peta politik praktis.

Itu merupakan fenomena setiap menjelang pemilu. Tak jauh bedanya saat ini (tahun 2010) ketika musim pilkada (pemilihan kepala daerah) kota/kabupaten akan digelar, bukan lagi seniman terlihat “ramai-ramai” naik di panggung politik. Tapi ada sejumlah politisi mulai melirik atau ingin “naik” di panggung kesenian sebagai bagian membagi “mimpi” untuk sebuah pencerahan. Saat ini ada beberapa bakal calon walikota masing-masing memiliki gagasan dan impian-impian melahirkan dan memajukan masalah seni dan budaya masa mendatang. Ini suatu langkah maju dan menarik disambut, karena seniman sudah mulai dianggap … dan diperhitungkan.
Ketika Rusdy Mastura berpasangan dengan Suardin Suebo sebagai calon walikota Palu, masalah seni budaya menjadi salah satu bahan kampanyenya. Keduanya berobsesi akan memajukan seni budaya dengan mengikutsertakan seniman dalam soal kebijakan pembangunan. Walaupun dalam perjalanannya, tidak semua harapan jadi kenyataan, menyusul adanya kebijakan yang tidak sesuai harapan para seniman.
Sementara itu Mulhanan Tombolotutu (kini wakil walikota) yang akan mencalonkan sebagai Walikota Palu mendatang, juga telah menyatakan janji akan memberdayakan seniman dalam berkreasi. Saat peluncuran buku antologi puisi dan esai tentang WS Rendra yang diterbitkan Dewan Kesenian Palu (DKP) pada Desember 2009 lalu, Mulhanan menyatakan seni budaya Kota Palu sangat potensial, karena itu pula pemerintah tidak akan lepas tangan dalam memperjuangkan kemajuan dan kreasi seniman dalam berkarya.

Dengarkan seniman
Harapan serupa juga belum lama ini dilontarkan Habsa Yanti Ponulele salah satu bakal kandidat Walikota Palu punya gagasan soal seni budaya. Mungkin ini satu-satunya perempuan Palu yang “berani” secara terbuka menyatakan bertarung untuk maju sebagai calon walikota. Ia pula satu-satunya bakal calon walikota yang melakukan dialog secfara khusus dengan para seniman, sehingga betul-betul terjadi dialog sekaligus curhat diantara seniman dan ang calon walikota.
Habsa Yanti Ponulele dalam dialog dengan seniman Palu, Jumat (19/2) lalu, mengungkapkan sejumlah uneg-uneg dan harapannya. Sebaliknya para seniman pun mengutarakan pula gagasan, terutama memajukan kesenian tidak sekedar mengeksploitasi seniman. Dialog yang dimoderatori Hidayat Lembang seorang dramawan, Habsa mengutarakan keinginan melibatkan semua pihak untuk memajukan pembangunan Kota Palu, tak terkecuali masalah seni dan budaya agar kota ini memiliki ikon tersendiri. “Saya sangat iri dengan kota lainnya, kalau ke Sumatra misalnya maka ada ikon yang terbayang. Dan begitu pula kalau di Makassar ada yang terbanyang kekhasannya, sehingga saya meginginkan seperti itu,” ucap Habsa optimis. Untuk itulah ia perlu masukan dari kalangan seniman dan hal ini akan ia tunaikan kalau amanat menjadi walikota terwujud.
oiKarena itu pula perempuan berlatar pendidikan arsitek ini menginginkan para seniman Palu dapat mengkritisi kebijakan pamerintah sekaligus memiliki nuansa hiburan untuk semua. Harapan itu akan diwujudkan sebagaimana eksistensi kelomok seni Pettapuang di Makassar. Kelompok seni ini sangat kritis namun dengan cara sangat santun dalam berekspresi melontarkan karya dengan pertunjukan secara kontekstual.
“Saya tak menyangka kalau ada banyak harapan seniman Palu. Saya kaget, bisa jadi itu menunjukkan kalau hal itu tidak terpenuhi. Karena di Palu sebelumnya saya bingung apa yang mau ditonjolkan, tapi ternyata banyak sekali yang menarik setelah mendapat informasi dari seniman,” ucap Yanti di hadapan seniman Palu.
Sementara itu Iksan seorang arkeolog mengatakan, keberadaan Habsa Yanti untuk maju sebagai pemimpin merupakan langkah baru. Sehingga Palu merupakan kota tua yang pada zaman dulu sangat “barakah” dengan adanya pemimpin-pemimpin perempuan yang merintah di beberapa kerajaan Kaili, membuat suatu hal menarik dikaji kembali. Keberanian Habsa menjadi pemimpin merupakan suatu kebangkitan.
Namun demikian Iksan mengingatkan pada pemimpin, menggali akar budaya di Palu, maka yang harus dilakukan jangan secara panatisme, karena sejak dulu sudah mencerminkan keanekaragaman budaya. Palu dengan hubungannya dengan Sulawesi Selatan itu sudah lama berlangsung, sehingga kalau menggali budaya Kaili tak lengkap kalau tak menyinggung Bugis-Makasaar begitu pula sebaliknya.
Sedangkan Eman Saja seorang seniman dalam pertemuan tersebut mengungkapkan, sudah beberapa walikota maupun calon wali kota yang maju, visi-misi tentang seni budaya Palu tidak menjadi prioritas dan posisi seniman sangat lemah.
Padahal kata Hanafi Sarro seorang penyair menilai kemajuan tidak lepas dari pimpinan daerahnya, salah satunya harus menempatkan pimpinan SKPD sesuai keahliannya. Begitu pula peran perempuan harus banyak diberdayakan dengan semangat konsep lokal yang penuh kearifan. Menurut Hapri Ika Poigi, konsep perempuan adat dan budaya perlu dibangun sebagaimana di Ngata Toro (Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi) ada organisasi perempuan yang betul-betul memperjuangkan hak-hak keadatan kaum perempuan. Selain itu kata Hapri, masalah ekonomi kreatif perlu juga ditingkatkan sebagai bagian isu perempuan berupa kerajinan tangan, kuliner dan lainnya. Hal ini dapat dicapai kalau kebutuhan kesenian juga tercapai sehingga ada nilai jualnya yang baik dan isu hak-hak adat perempuan perlu pula diprioritaskan.

Seniman di Panggung Politik
Sekedar ilustrasi, adanya seniman berkeinginan naik ke panggung panggung politik dan sebaliknya ada politisi melirik panggung kesenian, merupakan warna dan dinamika sejarah perjalanan kebudayaan yang selalu menarik diperbincangkan. Karena itu dalam tulisan ini, sedikit kilas balik tentang dinamika antara seni(man) dan politik di Kota Palu secara historis, penulis sedikit paparkan di sini untuk menambah khazanah pemikiran kita.
Pada masa kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda di Sulteng, kelompok-kelompok sandiwara yang terbentuk menjadi alat perjuangan. Bentuknya berupa pertunjukan dari kampung ke kampung dengan maksud mempertontonkan cerita perjuangan menentang penjajah. Lewat pertunjukan itu pula pemain sandiwara yang juga aktivis politik menjadikan kesempatan pengumpulan massa untuk memprovokasi agar perlawanan tetap bangkit.
Adalah MI Alham salah satu contoh seniman yang pernah jadi politis di Kota Palu dengan puncak karier Ketua DPRD Gotong Royong Kabupaten Donggala. Sebelumnya seniman dari panggung pertunjukan ke panggung parlemen. Demikian halnya tokoh Partai Masyumi di Palu era 50-an Muhammad Djaruddin Abdullah (1910-1990), juga seorang seniman. Ia pernah mendirikan sekaligus ketua Streekorkes musik club Suara Baru (1932-1940) dan memimpin Tonnel Opvering (1941-1947). Dalam menggalangan massa sekaligus menghibur masyarakat, lewat kelompok sandiwara dan musik yang dipimpinnya menjadi media perjuangan politik, namun bukan untuk kekuasaan politik.
Di masa awal dekade 1990-an seniman Palu yang pernah duduk di legislatif yakni Drs. Pasaulolo Dg Malindu dengan jabatan Wakil Ketua DPRD Palu dan Dra. Hj Ida Sikopa juga pernah duduk sebagai anggota Dewan Kota Palu (keduanya dari Golkar).kehadiran mereka mewarnai dinamika kesenian dan politik pada zamannya. Selain itu masih ada sejumlah seniman yang menjadi bagian perjalanan politik di Sulawesi Tengah umumnya dan Palu khususnya. Terakhir dari hasil Pemilu 1999 dan 2004 Arifin Sunusi lewat PBB menduduki Wakil Ketua DPRD Palu, juga berlatar belakang seniman sehingga masa kampanye, seni menjadi salah satu media yang digunakan. Kemudian Pemilu tahun 2004 lalu Revi Arifin Passau dari Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) Kota Palu juga berhasil duduk di DPRD dan merangkap sebagai Ketua Dewan Kesenian Palu (DKP) menggantikan Arifin Sunusi.
Itulah seniman di panggung politik. Dan sekarang giliran politisi memulai memainkan peran panggung kesenian sedikit dan hanya sementara akan mengganti peran seniman yang akrab dengan panggung seni. Walaupun mereka para politisi tidak betul-betul berakting di atas panggung, tetapi sesungguhnya mereka adalah aktor-aktor yang hebat memainkan sejumlah lakon-lakon yang sebenarnya. Sebab panggungnya tidak sekedar “panggung sandiwara”, melainkan panggung realitas di tengah masyarakat. Seniman salah satunya menjadi pemeran dalam skenario para politisi, walau seniman hanya jadi fuguran yang menunggu impian. Karena para calon walikota yang sedang berakting di atas panggung menggantikan peran seniman juga sedang bermimpi. Tetapi semoga mimpi-mimpi indah bersama seniman itu jadi kenyataan. Kita tunggu saja setelah Pilkada.*

(Penulis seorang pemerhati seni dan budaya di Kota Palu)

Tidak ada komentar: