Minggu, 13 Desember 2009

MUDAHNYA JADI WARTAWAN, ETIKA DIABAIKAN

Oleh: Jamrin Abubakar
Ketika di Kota Palu hanya lima surat kabar yang diakui pemerintah berdasarkan SIUPP sebelum berakhirnya rezim Orde Baru, sangatlah terasa dampak suatu pemberitaan. Walau hanya salah satu di antara lima surat kabar yang terbit itu yang memberitakan sesuatu persistiwa atau kasus yang termuat dalam bentuk berita, maka bisa dibayangkan menjadi pembicaraan yang hangat di berbagai tempat.
Bahkan kadang menjadi bahan pertimbangan pengambil kebijakan terhadap permasalahan yang dimuat terutama menyangkut kasus pejabat. Tetapi sekarang berbalik. Walaupun sudah 10 macam surat kabar yang memuat suatu kasus atau persoalan dalam hari yang sama, tapi dianggap biasa-biasa saja dan tidak banyak memberi dampak dorongan atau menjadi referensi pengambil kebijakan dalam menindaklanjuti suatu kasus yang diberitakan. Malahan kadang hanya menimbulkan banyak persepsi dan polemik yang tak pasti mana yang benar dan mana yang tidak. Pokoknya kadang pembaca ragu terhadap suatu berita apalagi kalau menyakut soal dugaan penyalagunaan anggaran sebuah lembaga misalnya.
Yang pasti sejak Reformasi bergulir yang diiringi kebebasan pers tak terkecuali di Sulawesi Tengah dengan mudahnya orang menjadi wartawan, karena memang dalam undang-undang tidak dipersulit. Tinggal bagaimana secara individu mestinya membangun integritasnya secara profesional agar tidak menimbulkan penilaian negatif. Tapi kenyataan sekarang? Memang tidak semua bermasalah. Tapi yang bermasalah itu kadang jadi menonjol sebagai acuan publik dalam menilai poerilaku dan citra wartawan. Adanya berita; Wartawan Pemeras Ditangkap Polisi kemudian Disidang, sungguh sangat memalukan.
Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan beberapa pengalaman pejabat Infokom (tapi tidak disebutkan nama dan di Infokom mana demi menjaga agar tidak ada yang tersinggung secara pribadi), tapi faktanya yang disebutkan dalam tulisan ini sering terjadi dan mungkin pembaca juga pernah merasakan.
Beberapa Kabag maupun aringkat kepala seksi Infokom Setkab di Sulawesi Tengah yang sempat dimintai komentar tentang pengalamannya berhadapan beberapa wartawan cukup menarik disimak dan ditelaah, sumapah separah itulkah citra wartawan kita? Sebuah pertanyaan yang jawabannya tergantung persepsi dan pengalaman pembaca.
Pemburu Berita atau Pemburu Uang?
Seorang Kabag Infokom misalnya kadang dongkol ketika sedang sibuknya menangani acara yang dilaksanakan di sekertariat kantor bupati, tiba-tiba saja didatangi beberapa wartawan menyatakan, “Pak Kabag tolong dibayarkan ongkos penginapan kami kebetulan kita menginap beberapa hari di sini, kadi tolong bantu, pak,” kata sang wartawan yang ditirukan seorang kabag Infokom.
Kontan saja sang kabag itu terperangah dan sedikit marah, namun tak mau menampakkan. “Ya daripada panjang persoalannya saya turuti sajalah, eh bukannya saja diminta bayar penginapan tapi malah kadang minta uang dengan alasan belum makan. Karena berbicara soal makan saya tidak sampai hati ya terpaksa saya tetap kasih, walaupun kadang dalam pikiran saya menuatakan kalau memang susah kenapa datang ke mari untuk susah-susah,” cerita sang kabag.
Lain lagi pengalaman seorang kabag di salah satu kabupaten juga di Sulteng, dari pengalamannya sebagai kabag infokom dua tahun terakhir ini memiliki banyak pengalaman berhadapan dengan sejumlah orang yang mengaku wartawan, tapi tak begitu jelas kewartawanannya. Ketidakjelasan yang dimaksud yaitu seringnya didatangi wartawan yang medianya tempo-tempo terbit yaitu hanya dalam rangka HUT Proklamasi RI atau hari-hari besar agama semacam menjelang Idul Fitri atau tahun baru yang ujung-ujungnya datang menagih iklan ucapan atas nama bupati, padahal sebelum,nya tak pernah ada koordinasi.
“Tapi bagaimana bisa saya bayar sementara tidak pernah ada koordinasi untuk memesan iklan sebagai seharusnya sebagai mitra yang baik,dating seenaknya saja tagih iklan, lalu kemudian lama tak ada kabar,” cerita sang kabag.
Bukan hanya itu ada pula pengalaman sang kabag yang dipaksa untuk berlangganan sebuah majalah/koran terbitan dari provinsi lain dengan harga yang cukup mahal bila dilihat substansi pemberitaan di dalamnya. “Padahal yang diprioritaskan untuk berlangganan surat kabar atau majalah adalah terbitan lokal atau daerah kita dengan harapan mendapatkan informasi berbagai hal tentang kabupaten atau wilayah provinsi, tapi yang ini terbitan dari provinsi lain yang tidak ada hubungannya dengan pemberitaan daerah,” cerita sang kabag infokom.
Kadang cukup kewalahan juga menghadapi berbagai tipe orang yang mengatasnamakan wartawan baik yang memaksa-maksa agar medianya dijadikan langganan. Ada pula yang meminta informasi pada Kabag Infokom berbagai hal tentang kabupaten atau kegiatan bupati dengan alasan wartawan itu akan memuatnya minggu berikutnya, tapi ternyata sampai berbulan-bulan berita tidak pernah muncul walaupun sebetulnya ada medianya terbit.
Sebaliknya karena tak mau ribut berkepanjangan kadang ada pula kabag infokom berlangganan sebuah media bukan karena kebutuhan sebagai mitra dalam soal pemberitaan berbagai masalah pemangunan. Melainkan hanya karena sekedar memuaskan atau tak mau ribut dengan wartawan yang menawarkan mdianya, padahal medianya tak juga dibaca baik kabag Ifokom maupun kabag-kapab lain termasuk asisten setkab. Buktinya beberapa kali penulis berkunjung ke beberapa ruang kabag dan tiga asisten Setkab Donggala memang di atas meja penerima tamu ada beberapa majalan/koran yang hanya ditumpuk, tidak dibawa masuk ke ruang kerja para asisten. Sehingga yang membaca kadang-kadang hanya tamu yang cukup lama menunggu, itupun sekedar mengisi kejenuhan saat menunggu.
Yang Merepotkan
Bukan hanya Kabag Infokom yang kadang kerepotan berurusan wartawan yang kapasitasnya tidak profesional dalam arti yang seharusnya tugasnya hanya cari berita atau konfirmasi sebagai kebutuhan tulisan yang akan diberitakan. Beberapa kepala dinas juga kasubdin di kabupaten/kota kadang merasakan gerah berurusan dengan wartawan-wartawan yang kewartawananya patut dipertanyakan. Karena sebetulnya wartawan adalah mediator dalam arti mengumpulkan data-data atau informasi sesuatu hal yang menarik untuk diberitakan lewat media masing-masing agar diketahui pembaca, tapi kadang seperti investigator atau penyidik kepolisian.
Dari pengalaman beberapa kepala dinas dan orang-orang yang memiliki kedudukan kadang kerepotan berhadapan dengan orang yang mengaku wartawan tidak profesional. Seperti adanya memberi pertanyaan-pertnyaan yang bertele-tele dan tak jelas, ada pula pertanyaan yang seakan-akan menuduh dan meyudutkan orang yang diwawancarai hingga membuat yang ditanya tersinggung dan itulah yang jadi bahan berita.
Lebih paranya lagi kadang ada pula yang kadang mengaku wartawan dengan membawa dokumen-dokumen yang konon sebuah penyimpangan suatu dinas atau badan sehingga akan dibeberpakan kecuali ada konpensasi. Karena yang bersangkutan sebagai tokoh tak mau ribut apakah karena betul yang dituduhkan atau tidak, kadang memberi duit “tutup mulut” pada orang yang menuduhnya.
Dari beberapa di antara persoalan yang penulis paparkan dengan menyeret-nyeret profesi kewartawanan tersebut di atas, akibatnya saat ini cap miring tentang wartawan sering kita dengar di masyarakat yang seakan wartawan didefinisi sebagai orang yang suka mencari-cari kesalahan orang yang ujung-ujungnya bisa mendapatkan uang dari orang yang ketakutan dengan wartawan atau yang tak mau berurusan dengan soal pemberitaan yang negatif. Apalagi adanya tertangkap wartawan pemeras, menambah cap negatif.
Akibat semacam itulah yang kadang mengemuka dan diketahui masyarakat tentang profesi akibat ada juga wartawanlah yang merusak citra kewartawanan, walaupun sebenarnya jauh lebih banyak wartawan profesional dengan citra baik ketimbang yang tercemar.
Kode etik
Padahal wartawan itu adalah sebuah profesi yang sangat terhormat dan disegani sebagimana yang tercantum dalam beberapa pasal dalam Kode Etik Jurnalistik yang telah disepakati banyak organisasi wartawan. Bila dicermati dan ditelaah betapa indahnya dalam bab kepribadian dan integritas pasal 2 KEJ misalnya berbunyi; Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggungjawab dan kebijakan mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya jurnalistik (tulisan-suara serta suara dan gambar) yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan Negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggungperasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi undang-undang.
Bukan hanya itu soal menyangkut pribadi seseorang untuk keperluan berita juga diatur dalam kode etik sehingga sebetulnya bila orang yang mengaku wartawan tidak ada hak untuk melakukan kesewenang-wenangan dalam memberitakan seseorang atau dalam mencari sumber berita karena semua diatur dalam kode etik maupun dalam undang-undang.
Dengan mudanya orang menjadi wartawan tanpa melalui proses panjang membuat dalam penyajian jadi instant hanya bermodalkan mampu bicara dengan orang lain dan mampu menulis sudah dijadikan modal untuk menjadi wartawan. Padahal modal itu tidaklah cukup karena kita akan berhadapan berbagai persoalan dan keadaan yang menjadi ujian yaitu memperlihatkan profesionalisme wartawan sehingga tidak dianggap sebagai ancaman siapa saja.
Penulis, seorang wartawan biasa

Tidak ada komentar: