Rabu, 16 Desember 2009

BAHASA KAILI TANPA SASTRA (Menagih Janji Walikota Palu)

Oleh: Jamrin Abubakar

PENGAJARAN bahasa Kaili sebagai salah satu mata pelajaran muatan lokal di sekolah dasar di Kota Palu merupakan lagkah maju di bidang humaniora. Sejak Walikota Palu Rusdy Mastura naik thata sedikit ada niat menjadikan bahasa Kaili menjadi milik orang Kaili lagi.
Apalagi saat ini yang menjadi pakar bahasa Kaili bukanlah orang Kaili sebagai pemiliknya, melainkan seorang warga berkebangsaan Amerika Serikat bernama Donna Evans. Dia telah menulis sebuah kamus Bahasa Kaili Ledo dengan ribuan entri. Kamus ini sejak tahun 2003 lalu telah diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah dalam tiga bahasa, Kaili Ledo-Indonesia-Inggris. Kamus ini bukan semata daftar istilah/bahasa Kaili, tetapi memiliki penguraian dan contoh-contoh kalimat yang tertera dalam bentuk
ungkapan atau ucapan.
Di tengah keterbatasan referensi, karya Donna itulah orang Kaili bisa mempelajari bahasanya dari orang lain yang secara geneologi dan kulturan bukanlah orang Kaili, tapi dia lebih Kaili daripada orang Kaili itu sendiri. Bertalian dengan obsesi walikota, ada harapan mengembalikan bahasa Kaili, khususnya dialek Ledo pada penuturnya.
Maksudnya, secara formal bahasa Kaili dipelajari oleh siswa di sekolah dasar walaupun tidak merata dan beberapa kendala, tapi setidaknya sebuah langkah maju dilakukan agar bahasa Kaili tiddak jadi punah. Namun di satu sisi beberapa tantangan mesti dicari solusinya, seperti tidak siapnya guru pengajar bahasa Kaili sehingga yang mengajar adalah orang Bugis dan beberap suku lain yang kebetulan diberi tanggungjawab mengajar. Selain itu belum adanya acuan tentang pelajaran bahasa yang standar yang dapat diajarkan, menyusul keberagaman dialek.
Namun demikian, adanya kendala bukan berarti jadi alasan untuk tidak meneruskan kebijakan yang telah dirintis Djikra Garontina sewaktu menjabat Kadis Pendidikan Kota Palu sejak tahun 2005 lalu. Semoga Hamzah Rudji yang belum lama menjabat Kadis Pendidikan itu bisa meneruskan apa yang telah dirintis Djikra menjadikan bahasa Kaili di sekolah dasar menjadi salah satu mata pelajaran muatan lokal.
Saat ini ada kecenderungan penutur bahasa Kaili mulai berkurang, terutama kalangan muda tak lagi berbahasa Kaili walau secara genelogi adalah orang Kaili. Tetapi secara kultural tidak lagi menampakkan kekalian, terutama sebagai penutur bahasa yang paling utama dan pertama yang mengidentifikasi suatu suku.

Bahasa dan Sastra
Kepedulian lain namun bertalian dengan pengembangan bahasa Kaili adalah dukungan walikota dalam penerbitan antologi puisi berbahasa Kaili lewat DKP (Dewan Kesenian Palu) tahun 2006 lalu.
Bahasa dan sastra keduanya tak bisa dipisahkan, sastra sebagai karya seni memakai bahasa sebagai medianya dan sebaliknya bahasa bisa tumbuh dan berkembang lewat karya sastra. Karena itu mestinya kebijakan menjadikan bahasan Kaili untuk mata pelajaran di sekolah harusnya bersamaan dengan pengajaran sastra Kaili, minimal dalam bentuk pembacaan karya sastra. Ini juga upaya pelestarian dan pengembangan sastra Kaii yang nyaris punah di tengah publik orang Kaili sendiri. Punahnya bahasa adalah punahnya sastra dan demikian sebaliknya.
Ketika peluncuran dan pembacaan puisi Kaili yang dihadiri Walikota Rusdy Mastura di Taman Budaya Sulteng, Desember 2006 lalu, sedikit ada harapan ketika menyampaikan janjinya. Yaitu buku sastra Kaili yang diterbitkan DKP akan dijadikan salah satu bacaan muatan siswa di sekolah dasar, karena di dalam buku yang berjudul Panembulu itu berisi karya beberapa penyair Palu itu dinilai Rusdy sangat menarik.
Apa kelanjutannya? Tinggal janji, jangankan memberi penghargaan insentif pada penyairnya sebagaimana dijanjikan tak juga teralisasi, buku itu pun tak berlanjut ke sekolah-sekolah. Hal ini sebetulnya bukan semata urusan walikota, sebab banyak persoalan menumpuk yang perlu ditanganinya, tapi juga tanggungjawab Ketua DKP Revi Passau yang telah memberi sinyal pada walikota. Harusnya berlanjut pada pembicaraan dengan pihak Dinas Pendidikan Kota Palu tentang keinginan walikota memasukkan bacaan sastra Kaili di sekolah-sekolah. Jangan hanya habis peluncuran, habis cerita.
Soal obsesi Kadisdik Hamzah memajukan bahasa dan sastra Kali belum pernah kita dengar keseriusannya soal ini. Kalau Djikra pernah memaparkan betapa pentingnya hal tersebut dalam sebuah dialog budaya di Taman Budaya yang difasilitasi Dewan Pembina dan Pemngembang Budaya Kaili tahun lalu, tentang pengajaran bahasa Kaili di sekolah.
Untungnya beberapa waktu lalu, sebuah buku sastra berupa kumpulan puisi Kaili karya Tjatjo Tuan Saichu alias Ts. Atjat mendapat sambutan hangat dari Kadisdik Palu, sehingga akan diterbitkan dalam waktu dekat ini. Buku tersebut berjudul Benggabula berisi 50 buah puisi dalam tiga dialek bahasa Kaili (ledo, tara dan rai).
Benggabula berisi keragaman persoalan yang dituangkan penyairnya dengan bahasa yang santun namun kritis. Berupa pesan-pesan kearifan leluhur orang Kaili, persoalan tatanan adat masa lalu dan kini, persoalan sosial yang sedang terjadi serta cerita-cerita legenda yang dikemas secara puitis dan mudah dimengerti.
Pokoknya karya TS. Atjat ini bisa menjawab minimnya bahan bacaan sastra ketika pemerintah mencanangkan pengajaran bahasa Kaili di sekolah dasar. Sebab bahasa tanpa sastra dan sastra tanpa bahasa merupakan keterputusan yang takkan menghasilkan kemajuan di bidang budaya Kaili itu sendiri.
Sungguh kasihan kalau orang Kaili hanya belajar bahasa Kaili dari orang Amerika saja. Padahal mereka juga punya guru-guru bahasa dan sastra yang tak kalah hebatnya, cuma saja tak diberdayakan. Tapi mudah-mudahan janji walikota dan Kadisdik Palu jadi kenyataan. Semoga.(Palu, Februari 2008)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Demo lewat kata-kata....salut kak....menikam janji dengan kata akan lebih terasa...namun tak berasa ut yang tak punya hati.....sukses ut kak jamrin dan aktifitasnya...