Selasa, 19 Januari 2010

Resensi Buku : Jenderal Reformis yang ‘Pengangguran’

Judul : MENGUTAMAKAN RAKYAT
Wawancara Mayor Jenderal TNI Saurip Kadi
Penulis : Liem Siok Lan
Tebal : xxxvi-228 hlm; 15-5 X 23 cm
Tahun : Juli 2008- Edisi Rakyat
Penerbit : Jaringan Buku Rakyat.

BUKU dengan judul MENGUTAMAKAN RAKYAT Wawancara Mayor Jenderal TNI Saurip Kadi oleh Liem Siok Lan dapat dikatakan gaya penulisan semacam ini belum popular di Indonesia, tetapi bukan hal baru.
Beberapa buku hasil wawancara beberapa wartawan terhadap tokoh-tokoh Indonesia pernah dibukukan
beberapa penerbit, salah satunya buku tentang Ali Sadikin mantan Gubernur DKI Jakarta.
Namun bedanya hasil wawancara dikumpulkan dari publikasi media massa. Tetapi buku seperti Wawancara dengan Saurip Kadi yang diterbitkan langsung ini juga pernah dilakukan penulis dari AS Andre Vltchek bersama seorang penulis Indonesia Rossie Indira dalam buku berjudul; Saya Terbakar Amarah Sendirian? Pramoedya Ananta Toer dalam perbincangan dengan Andre Vltchek dan Rossie Indira, 2006.
Bila ditelaah antara pemikiran dan kegelisahan sastrawan Pramoedya dengan Saurip Kadi adalah sama-sama melihat nasib derita bangsa dan kemarahan dengan mengritisi pemerintah sendiri termasuk militer di dalamnya. Namun demikian, bukan itu masalahnya. Ini hanya soal gaya dan teknis saja, karena yang menarik dalam membaca buku yang ditulis perempuan aktivis sosial Liem Siok Lan adalah penciptaan dialog untuk membangun suasana keakraban. Mendekatkan pembaca dengan sang jenderal pemilik gagasan terasa ringan dan lugas walau yang dibicarakan adalah kerumitan tentang silang-sengkarut bangsa Indonesia yang multikrisis.
Buku ini terbagi dalam 11 bab, yaitu Bab I Susun Ulang Sistem Kedaulatan, Bab II Pemurnian dan Implementasi Pancasila, Bab III Nasionalisme Baru Indonesia, Bab IV Reformulasi UUD, Bab V Refungsionalisasi Kelembagaan Negara, Bab VI Tentara Bela Rakyat (Visi Baru Pertahanan dan Keamanan), Bab VI Badan Usaha Milik Rakyat -bumr (People Cybernomics), Bab VIII Paradigma Baru Manajemen Pemerintahan, Bab IX Kabinet Enterpreneur, Bab X Memerangi KKN, Bab XI Kepemimpinan yang Kuat dan ditambah tulisan refleksi berjudul Potret Bangsa serta tulisan pendek Kencana Ideologis.
Pembaca bisa terkesima betapa berani dan membuat orang tersentak bagi yang tak menyadari betapa otoriternya sistem Negara kita yang selama ini masih menindas rakyatnya. Ironis memang, Indonesia sebagai Negara kaya tapi pemerataan untuk kesejahteraan rakyat belum tercapai. PNS dan TNI/Polri yang gajinya kadang naik tak banyak berarti karena harga-harga begitu cepat naik tanpa kemampuan pemerintah mengendalikan. Pegawai saja menderita, apalagi rakyat yang didefinisikan Saurip adalah mereka yang tidak mendapatkan gaji bulanan.
Buku ini diawali komentar beberapa tokoh berbagai latar kedisiplinan sebagai pengganti kata pengantar yang lazim pada sebuah buku. Di antara yang memberi komentar; Ben Anderson (ahli tentang Indonesia dari Amerika Serikat), Jenderal (Purn) TNI Wiranto (Ketua Umum Partai Hanura), Ginajar Kartasasmita (Ketua DPD), Christianto Wibisono (pakar ekonomi dan bisnis) dan sejumlah tokoh ternama. Semua komentator memuji buku dan reputasi Saurip Kadi sebagai prajurit reformis dan berani mengritisi intern lembaga TNI tempat ia mengabdi sekaligus yang memojokkan dirinya.
Saurip Kadi dalam menjawab pertanyaan Liem Siok Lan ini, mengupas berbagai persoalan kemelut di Negara kita. Yaitu masalah ketidakadilan sosial budaya, keterpurukan ekonomi, kesimpang-siuran tata pemerintahan/negara, kebobrokan politik dan tak terkecuali kritikan terhadap konsep TNI yang banyak menyimpan dari khittahnya. Karena tak adanya penjelasan pada pendahuluan, pembaca tak tahu persis apakah wawancara ini semua dilakukan dalam bentuk lisan/langsung atau sebagian tertulis atau sekedar rekayasa formalitas dibuat sedemikian rupa ada pertanyaan kemudian ada jawaban. Tapi yang pasti disitulah kehebatan seorang Liem Siok Lan yang mampu membaca pikiran Saurip dalam mencermati situasi Indonesia sekaligus pelaku sejarah.
Buku Mengutamakan Rakyat ini diterbitkan dua edisi, yaitu edisi luks dan edisi rakyat dengan harapan dapat dijangkau berbagai kalangan. Tetapi itu sebetulnya soal teknis saja sesuai selera dan kesepakatan penulisnya, karena yang lebih menarik disimak dari buku tersebut adalah tergambarakannya buah pikiran sosok sang jenderal bintang dua Saurip Kadi yang memiliki integritas dan kredibilitas dengan pikiran reformis yang cerdas tak semua jenderal memiliki.
Cuma saja kehadirannya di alam demokrasi ala Indonesia, bangsa yang alergi dengan kecerdasan yang kritis di tengah satu kekuatan, kadang terabaikan dan tersingkirkan. Seorang Saurip bukannya tak menyadari, sebab ia akhirnya jadi ‘korban’ dan sebagai prajurit kesatria menerima dikorbankan ketimbang ikut haluan ketidakbenaran sebuah sistem yang dinilai otoriter. Intinya kritikan Saurip ini cukup berani, cuma saja buku ini lahir setelah menjadi jenderal pengangguran.
Saurip yang dikenal sebagai perwira tinggi berhaluan progresif dan menjadi perintis reformasi tubuh TNI ini banyak mendapat perhatian para akademisi dan pemerhati politik dan militer. Sayang kecemerlangan pikirannya itu tak kuasa ia sebarkan dalam tubuh TNI menyusul kariernya kandas sejak adanya mutasi di tubuh TNI pada 16 Juni 2000 lalu di masa Presiden Abdurahman Wahid. Yaitu saat mencuatnya kasus Dokumen Bulak Rantai yang menghebohkan, sebuah dokumen berisi reposisi para petinggi di tubuh militer yang dibahas di kediaman Saurip bersama Letjen Agus Wirahadikusumah dan beberapa tokoh lainnya.
Sejak itulah ia jadi jenderal nonjob atau diistilahkan dirumahkan dalam Mabes TNI. Di sela-sela waktu yang luang itulah dia manfaatkan menjadi pembicara di berbagai forum dan menulis beberapa buku yang berisi pemikiran tentang kenegaraan dan pemikiran menjadikan TNI sebagai tentaranya rakyat, salah satu hasilnya adalah buku Mengutamakan Rakyat.
Sampul buku dengan ilustrasi sejumlah gambar Saurip ‘berakrab’ dengan rakyat itu cukup menarik. Dilenkapi lembaran foto-foto Saurip yang sedang berinteraksi dengan rakyat. Sepintas sang jenderal yang memakai pakaian rakyat biasa itu terlihat akrab bercengkrama dengan masyarakat yang sedang beraktivitas, ungkapan rasa kepedulian atau simpati seorang Saurip yang turun ke lapangan berdialog mendengar aspirasi rakyat..
Foto yang ditampilkan sebagai ‘pemanis’ dalam buku tidak diberi penjelasan tentang aktivitas yang ditampilkan, kapan dan dimana. Maka pembaca patut curiga, seakan-akan foto-foto yang ditampilkan hanya dibuat-buat dengan berakrab-akrab dengan rakyat yang mungkin saat pengambilan gambar hanya untuk kepentingan dimuat dalam buku ini. Bukan sebagai foto dokumen yang selama karier di militer Saurip sering berakrab-akrab dengan rakyat atau tidak sesuai yang sebenarnya, akhirnya lebih dari sebuah adventorial.
Namun demikian, sekali lagi dapat dikatakan buku pikiran Saurip ini sangat menarik dibaca berbagai kalangan, mahasiswa, pengamat politik, politisi, akademisi, para petinggi militer yang sedang berkuasa dan para calon pemimpin. Terutama para pemimpin penyelenggara negara.
Saurip yang kini sudah tujuh tahun lebih pangkatnya bertahan jadi Mayor Jenderal, sejak beberapa bulan lalu, berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia untuk menyebarkan virus. Tetapi virus yang dimaksud adalah virus kebenaran tentang cara bernegara yang benar di tengah rakyat yang selalu tersisihkan, padahal rakyatlah penentu bangsa ini.
Penjelasan tentang virus itu pernah disampaikan dalam diskusi dan bedah bukunya di Palu pertengahan Juni lalu. “Dalam buku ini saya uraikan juga masalah paradigma baru mengelola negara yang tak lepas dari masalah global yang suka atau tidak suka mesti berada di dalamnya,” kata Saurip waktu itu.
Gerakan penyebaran virus ini dilakukan menurut Saurip sebagai upaya gerakan moral untuk menyadarkan tentang rusaknya negara saat ini akibat kesalahan para pemimpinnya.
“Tetapi yang rusak itu bukanlah rakyatnya tapi elit-elitnya. Tapi anehnya ketika ada rakyat atau tokoh LSM yang dulunya kritis dan ketika sudah jadi elit ikut jadi rusak,” ungkap Saurip prihatin.
Saurip juga menilai saat ini pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan SBY-JK dapat dikatakan gagal mensejahterakan rakyatnya. Padahal kalau pemerintah gagal kata Saurip maka gagallah negara itu. Harusnya negara itu adalah regulator-pelindung rakyat-penyeimbang yang mensejahterakan rakyatnya dan negara harus ada kesetaraan dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika.
Jenderal dari kalangan anak petani dan nelayan kelahiran Bremes Jateng 18 Januari 1951 ini namanya memang tidak begitu popular di antara jenderal-jenderal masa Orde Baru. Tetapi bisa jadi namanya akan abadi dalam sejarah TNI sebagai salah satu pemikir cemerlang yang karyanya jadi referensi seperti halnya Jenderal Besar Nasution- TB Simatupang yang selalu jadi rujukan bagi calon-calon perwira TNI ke depan.* (Catatan resensi 2008)

1 komentar:

jamiyah huffadz malang mengatakan...

maju terus pantang mundur buat pak jenderal.doa dan aksi para jamaah nurul iman malang jatim kan terus mengalir demi niat baik beliau.