Selasa, 19 Januari 2010

"MENYIRAM" BUNGA SATRIES


Oleh: Jamrin Abubakar

NAMA kepenyairannya Satries. Dia seorang insinyur pertanian yang menjabat Kasubdin Perikanan dan Kelautan pada Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Donggala. Tapi memiliki kecintaan pada dunia puisi, sehingga sejumlah puisi telah ditulisnya dan dipublikasikan di beberapa surat kabar terbitan Palu.
Nama sebenarnya Sadrudin T. Lagaga, setiap pagi hingga menjelang sore bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan sore hari dan kadang hingga malam menjalani kuliah pascasarjana. Tengah malamnya sesekali ”merangkai-rangkai” kata untuk puisi-puisinya yang sejak lama terpendam dalam sukmanya.
Berbagai persistiwa romantisme, pergulatan batin, keprihatinan, kesuksesan, angan-angan atau hayalan-hayalan dan berbagai kegundahan bercampur-campur, akhirnya ’berbunga-bunga.’ Maka
genaplah 21 rangkai bunga ala Satries dalam puisi-puisinya.
Disebutnya Kumpulan 21 Puisi Bunga. Semuanya berisi tentang kata-kata bunga, namun dimaknakan sebagai bunga secara simbolis dengan gaya personifikasi dan berbagai penafsiran bunga. Namun di antara puisinya itu tetap juga menyatakan bunga secara realis, bukan simbolis, seperti dalam hanya satu puisinya yang mengambil nama bunga, yakni Edelwais.

Pada vas bunga kecil, terisi bunga edelwais
Kenangan sewaktu mendaki di puncak Nokilalaki
bunga edelwais menghiasi ruang kecil
menjadi penyejuk hati dikala sepi sendiri.
Setiap kali kutatap bunga edelwais itu
terkenanglah daku pada keabadian cintamu.

Mencermati puisi tersebut, terukir kenangan romantisme ala remaja dengan kekaguman bunga edelwais secara sekilas. Penyair mengutarakan perasaan sepinya dan ketika menatap bunga edelwais yang memang banyak di sekitar Gunung Nokilalaki dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu itu, bisa jadi Satries nyata pernah mengambil bunga itu. Padahal bunga ’abadi’ nan harum ini termasuk dilestarikan.
Di satu sisi Satries yang puisinya pernah dimuat di Koran MAL ini, ada menulis;

Jelita wajah ayu sang bunga dibingkai pigura alam
Gita cinta asmara sang dara direlung damainya malam
dalam rangkaian tanda alam berbahasa makna
dalam perlambang bunga kita membaca bahasanya.

Jelita wajah lembut sang bunga, dipagut keras arus zamannya,
cita harapan bahagia sang kelana ditantang seribu prahara.

Itulah Kisah Sang Bunga kutipan di antara puisinya yang sempat diobok-obok rekan penyair Palu dalam dalam pembedahan puisinya bertajuk Kumpulan 21 Puisi Bunga, bertempat di kantor Koran MADANI, Senin (18/9) lalu, betul-betul menjadi pengadilan puisi bagi Satries.
Bayangkan, sang penyair jangankan karya-karyanya disajikan dalam bentuk buku, diprint out saja belum. Alasannya persoalan teknis dan berbagai kesibukan, sehingga peserta diskusi bedah buku hanya mendengar pembacaan puisi yang dilakukan Satries sendiori. Kemudian dari hasil pendengaran itulah kemudian diberi beragam tanggapan, lalu ditafsir-tafsir sesuai selera yang mendengarkan.
Tentu saja yang ada yang memuji-mujinya, tapi ada pula yang menilai biasa-biasa saja.
“Puisi-puisi bertema bunga yang dimiliki Pak Satries ini, masih bermakna denotatif, belum dalam bentuk imajinatuif sebagaimana keindahan sebuah puisi. Jadi masih perlu diolah agar lebih terdengar puitisasinya,” kata Hanafi Sarro dengan nada kritik.
Hanafi yang dikenal dengan nama kepenyairan Ifan S. Khayal itu menilai bunga-bunga Satrie, masih seperti pengungkapan seorang remaja yang sedang pubertas. Belum menunjukkan, apakah bunga yang dimaksud adalah bunga hidup yang selama ini jadi hiasa, atau ada bunga lain?
Pendapat senada tak jauh beda diungkapkan Moh. Nawir Dg. Mangala, seorang penyair yang juga aktor teater. Menurutnya masih perlu penajaman-penajaman ungkapan, sehingga tidak terlalu menonjol romantismenya sebagaimana penyair tempo dolu.
Pekerja teater yang juga penyair, Eman Saja memberi tanggapan dalam bentuk kritikan maupun sara. Ia mengatakan sebaiknya puisi Satries ini dikemas lagi dan jangan dibukukan secara tergesa-gesa, agar lebih matang lagi, termasuk soal sampulnya. Apakah sampulnya dibuat secara realis atau ada simbol tentang bunga-bunga, atau tidak, itu yang mesti dipikirkan juga.
Nah, lain halnya penyair Moh. Rafik (Mora). Punya penilaian dan sekaligus pembelaan pada Satries, menurutnya, penyair telah berupaya menjadikan bunga sebagai simbol dan kekuatan dalam 21 puisinya. Sebab dengan bunga, penyair dapat membeberkan berbagai persoalan-persoalan kehidupan sosial yang bisa jadi bagi sebagian orang menganggap bunga sebagai hiasan semata atau simbol dalam cinta.
“Tapi bagi Satries dia mengungkapkan perasaannya dengan majas personifikasi tentang bunga, sehingga menjadi daya tarik sendiri, puisi satu sama lainnya semua bicara tentang bunga secara simbolis,” kata Mora dengan memuji.
Lantas apa kata penyair?
Berbagai kritikan dan saran, rupanya hal itu merupakan keinginan yang diharapkan. Sebab adanya masukan dari rekan-rekan penyair, sehingga bunga-bunga yang dipuisikan itu, kata Satries masih bisa “disiram-siram”, biar lebih subur lagi.
Tapi yang jelas, menurutnya, kenapa mesti bunga. Karena bunga itu bukan saja tanaman hias, tapi merupakan simbol atau lambang tentang kehidupan, termasuk soal kepangkatan dalam jenjang karier pegawai sipil maupun militer.
Tentang 21 bunga itu pula dimaknakannya sebagai rasa kematangan seorang remaja yang memasuki usia 21 tahun. Sebab usia demikia telah menjadi puncak kematangan dari pubertas, sehingga disimbolkannya pula sebagai proses yang menentukan masa depan seseorang.
Diskusi bedah puisi ini terbilang menari, karena sebelum diterbitkan dalam bentuk buku, penyairnya mengundang penyair lain intuk dibedah karyanya. Akhirnya, yang terjadi adalah selain pengobok-obokan, juga “siram-siraman” puisi. Dimaksudkan, agar Satries masih perlu menyuburkan bunga-bunganya, agar lebih subur lagi dengan sarat makna.
Kritikan Asmadi Taro, aktivis teater dari Laboratorium Seni Peran Palu, menilai sebaiknya dengan puisi bunga yang dirangkai dalam 21 buah puisi itu lebih mencerahkan dalam arti memberi kecerdasan pada pembacanya.
“Kenapa tidak menjadikan puisi bunga sebagai suatu gerakan yang bisa membuat orang bergerak atau berpikir begitu selesai membaca bunga, sehingga kekuatan bunga yang dimaksudkan penyair lebih memiliki kekuatan hebat,” kata Asmadi memberi saran. *
(Sumber: Koran MADANI, September 2006)

Tidak ada komentar: