OLEH: Jamrin Abubakar
SIAPA seniman atau pun kelompok seni di Kota Palu atau di Sulawesi Tengah umumnya jadi “besar” dan sukses atas pembinaan lembaga kebudayaan pemerintah?
Pertanyaan tersebut telah saya lontarkan tahun 2008 silam dalam jaringan email (milis) yang kemudian mendapat banyak tanggapan dan sorotan terhadap beberapa seniman birokrat dan lembaga Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) yang selama ini memiliki “kekuasaan” dalam proyek seni budaya. Selain di milis, tulisan ini pun pernah dimuat di sebuah media, kemudian penulis aktualisasikan kembali sesuai konteks terkini.
Soal pertanyaan siapa seniman jadi besar karena dibina lembaga kebudayaan, silahkan pembaca
menjawabnya. Yang jelas dari pengamatan penulis ada beberapa seniman dan kelompok seni memilki reputasi dan kredibilitas yang cukup diperhitungkan di tingkat lokal dan nasional. Tetapi apakah karena campur tangan lembaga pemerintah dimana di dalamnya terdapat para pejabat kebudayaan yang selalu menyusun program dan melakukan kerja birokrasi dan sangat ekslusif mengutamakan “kesejahteraan” birokrat seni ketimbang seniman itu sendiri.Entahlah kalau saya keliru menilai soal ini. Kalau pun keliru, berarti kemungkinan para pejabat atau lembaga kebudayaan itulah yang benar. Soalnya sepengetahuan saya sebagai penulis, di antara para seniman yang selama ini eksis berkarya, apakah sastrawan, koreografer/penari, musisi/komponis/penyanyi, perupa, dramawan dan lainnya, justru mereka ‘besar’ dan dan eksis bukan karena keberhasilan lembaga kebudayaan selaku pembina dan fasilitator. Justru karena keberadaan atas upaya indivisu-individu seniman yang mampu berkarya itu yang kemudian baru mendapat sentuhan untuk “diproyekkan” pada event-event seni budaya. Sangat minim program ke bawah yang sifatnya betul-betul membina seniman yang tak berdaya secara sosial ekonomi, sehingga mampu mandiri secara profesional.
Lantas kalau begitu apa kerja dan tanggungjawab para pejabat kebudayaan selama ini? Padahal setiap tahunnya dana yang dinggarkan untuk kegiatan kesenian-kebudayaan mencapai ratusan juta, bahkan miliaran rupiah, terutama bila diakumulasi untuk beberapa event tahunan ditambah biaya menghadiri festival di Bali, Taman Mini Indonesia, dan lainnya. Itu belum termasuk untuk keluar negeri.
Dari berbagai persitiwa seni budaya proyek tersebut di satu sisi memang tidak bisa diukur dengan berapa uang yang dihabiskan, karena secara sosial kulutural terkandung nlai-nilai spirit sosial yang menjadi semacam investasi kebudayaan dimana Sulteng menjadi bagian jaringan kerja kebudayaan itu sendiri. Soal ini tak masalah, tapi bagaimana dengan kesejahteraan para pelaku seni atau seniman yang terlibat dalam berbagai aktivitas yang menjadi lokomotif dalam agenda budaya yang dilahirkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Kasihan. Seniman yang bukanlah bagian dari birokrasi suatu lembaga pemerintah, bukan saja insentif atau kompensasi yang diterimanya kurang pantas ketimbang anggaran yang tersedia, tetapi terkesan sebagai alat semata untuk mensukseskan suatu program, walaupun hal ini tidak semuanya benar.
Bagaimana mereka yang menjadi bagian birokrasi yang tugas pokoknya memang untuk jadi pelayan/fasilitator (untuk tidak mengatakan pembantu) yang juga sudah dapat gaji bulanan sesuai tugasnya? Mereka lebih mengutamakan dirinya dalam “pembagian kue” proyek ketimbang “pembuat kue” itu sendiri.
Kalau seniman diberi kompensasi yang sangat layak dan sepantasnya karena karyanya sukses ditampilkan dalam event-event festival ala pemerintah, sangatlah wajar. Lagi pula dalam mempresentasikan karya-karyanya tidak setiap saat, sehingga bila bicara secara ekonomis dengan kondisi apresiasi seni dalam masyarakat kita masih biasa-biasa saja, maka wajarlah kalau sekali-kali pemerintah memberi kelayakan seniman, minimal pada setiap penampilan dalam event tahunan. Hal itu dipandang perlu agar tidak terkesan seniman hanya jadi alat eksploitasi setiap diperlukan. Bayangkan kalau misalnya sesaat menejalang pertunjukan di suatu event atas nama pemerintah daerah, tiba-tiba mereka yang dijadwalkan tampil itu mogok. Apa jadinya? Pasti yang malu adalah pemerintah daerah juga. Semoga imajinasi demikian tidak terjadi. Maka hentikanlah eksploitasi seniman.
Di satu sisi seniman haruslah memiliki keberanian “melawan” selama karya yang berkualitas bisa dipertanggungjawabkan pada publik. Bukan karya asal-asalan, tapi betul-betul hasil dari ekploirasi yang mencerminkan latar belakang suatu tema yang diusung.
Beberapa tahun terakhir ini di Sulteng sebetulnya seniman makin tertantang dengan adanya beberapa proyek event festival ala pemerintah. Bukan saja bagaimana seniman menjadikan festival sebagai moment untuk menunjukkan karya-karya orisinil, tapi juga pemerintah harus lebih banyak belajar melihat dan mendengarkan berbagai kritikan terhadap berbagai kegiatan festival yang digelar guna menjadi bahan evaluasi.
Sangat ironis suatu event dilaksanakan dari tahun ke tahun, yang diharapkan grafik kesuksesannya naik namun malah turun. Seharusnya lebih baik setelah bertambahnya pengalaman baik dan buruk. Itu pun kalau profesionalisme dan keterbukaan selalu dikendepankan.
Di Sulteng sudah cukup untuk dijadikan bahan evaluasi sekaligus media pemanfaatan dan pelibatan seniman secara terbuka. Kelihatannya seorang seniman yang juga birokrat di Disbudpar Sulteng, Amin Abdullah sebetulnya ada keinginan memulai mendorong semangat ‘keterbukaan’ dengan pelibatan seniman secara interaktif dalam penyusunan program sampai pelibatan di lapangan. Cuma saja secara birokrasi dan prosedur, ia tak berdaya menyusul alas an keterbatasan dana selalu jadi kendala. Ia pernah berkeinginan seniman bukan hanya tahu beraksi di atas panggung pada hari pelaksanaan, melainkan dilibatkan sejak awal agar lebih banyak tahu dalam proses di belakang panggung sebagai bagian penanggungjawab.
Beberapa event yang berada di bawah naungan Disbudpar baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, yaitu Pekan Budaya dan Pariwisata, Festival Danau Poso, Festival Togian, Festival Teluk Palu (Pesta Rakyat Teluk Palu), Festival Riak Donggala, Forum Vula Dongga dan akan entah apa lagi yang bakal dimunculkan.
Festival yang dilaksanakan pemerintah tersebut, bukan saja menjadi ‘impian’ sesuai yang diinginkan penyelenggara untuk mencapai maksud dan tujuannya, tapi saatnya membawa harapan bagi seniman daerah. Kehadiran seniman bukan lagi pelengkap penderita dalam mewujudkan sebuah event yang bisa dijadikan indikator kegiatan program?. Mereka (seniman) tak bisa dipisahkan sebagai bagian dari penanggungjawab karya dan kerja yang berproses.
(Penulis adalah pemerhati seni dan budaya di Palu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar