Selasa, 09 Februari 2010

Nooral Baso BANGKIT DENGAN SONETA COMBERAN

Oleh: Jamrin Abubakar

NOORAL BASO (66) salah satu di antara penyair Kota Palu yang terlupakan, kini bangkit kembali setelah dua dasawarsa tidak pernah aktif di ranah publik seni untuk menampilkan karya-karyanya. Namun akhirnya, Dewan Kesenian Palu (DKP) lewat program komite sastra, menyiapkan penerbitan kumpulan puisinya dalam sebuah buku berjudul Soneta Comberan.

Nooral Baso sebetulnya meruapakan salah satu penyair yang cukup produktif dan aktif pada zamannya dalam berbagai bidang kesenian sewaktu masih berdinas di Kanwil Depdikbud Sulteng pada dekade 70-an dan 80-an. Karya-karya puisinya sering dibacakan oleh para pelajar maupun pencinta puisi masa itu dalam momen peringatan hari-hari nasional maupun di acara lomba baca puisi. Selain itu puisi-puisinya juga sering disiarkan RRI Palu tahun
70-an dan 80-an. Namun sejak akhir ‘90-an namanya tenggelam dan nyaris tak terdengar dalam perkembangan kepenyairan di Kota Palu, bukan berarti tak lagi berkarya. Ada sejumlah karya puisi yang ditulis tanpa publikasi, melainkan hanya dijadikan dokumentasi pribadi dalam laci meja yang akibatnya banyak yang tercecer dan dimakan rayap sehingga sebagian tak terselamatkan.

Beberapa puisi yang baru ditulis dan sebagian yang sempat terselamatkan di antara yang tercecer itulah yang kini bisa ditampilkan dalam kumpulan Soneta Comberan. Sebuah judul dengan mengutip salah satu di antara 31 puisi dalam kumpulannya, hanyalah sebagian kecil yang terselamatkan hingga bisa menambah khazanah pusataka sastra di Sulawesi Tengah.
Beberapa kali pertemuan penulis dengan penyair Nooral Baso, ia mengaku kalau selama dua dekade terahir ia tidak banyak mengikuti perkembangan apresiasi sastra di Kota Palu. Tidak seintensitas sewaktu masih menjadi staf Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud Sulteng atau semasa masih menjadi guru sekolah.

“Sebetulnya ada banyak puisi yang pernah saya tulis dan kadang ada orang yang memintanya untuk mereka baca, namun kemudian aslinya hilang karena tidak ada duplikatnya apalagi tahun 70-an itu belum ada mesin foto kopy,” kata Nooral menceritakan kepenyairannya.
Sebagai penyair, Nooral mengaku dalam proses kreatifnya tidaklah dilakukan secara “paksa,” melainkan hanya berdasarkan inspirasi yang kadang muncul sewaktu-waktu, ketika itu pun ia tulis. Tidak heran dalam mencipta sebuah puisi penulisan tahunnya ada yang tertera satu atau dua tahun sebagai tanda proses penulisan.

Dalam catatan perkembangan sastra di Kota Palu dalam satu dekade terakhir sebelum terbitnya Soneta Comberan, nama Nooral Baso tidak begitu dikenal di kalangan penggiat sastra generasi baru. Karena penyair yang sangat sederhana ini masa produktifnya pada 70-an sampai 80-an atau seangkatan dengan almarhum Masyhuddin Masyhuda seorang penyair dan Hasan Bahasyuan (pencipta lagu Kaili) yang juga sudah almarhum. Meskipun demikian karya-karya Nooral tidak kalah kritisnya dengan penyair-penyair baru belakangan tampil di ranah sastra Kota Palu ketika segala informasi dan kemudahan penggunaan teknologi digital dapat diakses dengan mudah, sekaligus memberi peluang untuk kreatif secara bebas dan terbuka.
Tetapi yang menarik ada beberapa di antara penggiat sastra di Kota Palu mengaku sudah sering mendengar nama Nooral Baso sebagai penyair dan sesekali membaca puisi-puisinya dalam bentuk lembaran-lembaran, namun tidak pernah mengenal langsung sosok sang penyair siapa sebenarnya. Karena itulah buku Soneta Comberan yang akan menjawab sejumlah teka-teki tentang apa dan siapa sebenarnya Nooral yang selama ini “misterius” di mata penyair-penyair muda Kota Palu.
Membaca Soneta Comberan, nampak sekali daya kritis seorang Nooral yang di dalam dadanya tergumpal sesak nafas sosial melihat kondisi politik di Indonesia yang penuh ketidaksantunan. Dalam puisi Soneta Comberan : Demokrasi – Hak Asasi, penyair ini begitu marah terhadap kondisi politik yang sesak di masa pemerintahan Orde Baru hingga datangnya reformasi. Kondisi yang tidak stabil akibat para penguasa yang melalaikan demokrasi yang sesungguhnya diutarakan dalam mengawali Soneta Comberan;

Sepanjang jalan terpancang panji bernuansa hak asasi
apa saja melambangkan warna tersendiri
di tiap lorong gedung dan lapangan penuh memori
berpacu saling mendahului katanya itu demokrasi

Membaca secara utuh puisi yang dapat dikatakan ruh dari kumpukan ini secara kontekstual dengan sedikit mengembalikan memori sepuluh tahun silam, sungguh masih memprihatinkan walau berada di era reformasi. Maka seorang Nooral yang memiliki kepedulian ekspresi, ia tumpahkan suara hati nuraninya dengan teriakan teramat keras namun tak terdengar.
Dapat saya katakan suara hati nuraninya itu sangat disayangkan kalau hanya dibaca di belakang meja atau dalam ruang yang terkungkung sebagai renungan individu-individu yang hendak jadi filsuf dirinya sendiri. Melainkan karya ini sebagai puisi-puisi mimbar yang demonstratif, memiliki daya pukau yang menghentak dan bergema, sehingga ia menarik ketika dibacakan dalam ruang publik di hadapan audiens.

Membaca Soneta Comberan adalah membaca kontekstual sosial politik Indonesia secara universal, sebuah kondisi dimana saja tak terkecuali di tempat pergulatan hidup penyair merasakan keprihatinan. Indonesia yang merdeka tetapi kemerdekaan yang sesungguhnya tak dirasakan secara merata, seakan masih dalam keterjajahan. Bangsa yang makmur tapi rakyat pribumi tak menikmati segala potensi sumber daya. Penyair pun protes;

Begitu banyak bangsa terjajah justru alasan demokrasi
kemerdekaan cuma sebatas pembacaan deklarasi
seluruh proses pembangunan didongkrak oleh intervensi
bangsapun hidup terengah menyangga hati

Kesadaran kebangsaan mustahil berjalan mandiri
milik kekayaan tak sempat dinikmati anak pribumi
terjadilah pembodohan sumber daya yang tak manusiawi
sebagian potensi dikebiri oleh birokrasi bau tirani

(Soneta Comberan, bait 9 dan 10)

Politisi atau birokrat yang sering membawa-bawa nama demokrasi dicermati pula banyak yang hanya menjadikan alat kekuasaan semata yang kadang tanpa hati nurani. Alangkah nikmatinya kalau demokrasi dijalankan sesuai kebenaran. Itu salah satu impian sang penyair sebagaimana dalam penutup puisi Soneta Comberan;

Hingga di sini demokrasi hak asasi sungguh cuma teori
sebab demokrasi yang benar dalam berhak asasi
adalah semua orang tidak lagi saling mengebiri

Tulisan ini saya tidak bermaksud melakukan telaah, melainkan sedikit memberi gambaran tentang kekuatan “teriakan” yang sangat jeli dan kritis dari seorang Nooral Baso. Dalam kumpulan ini penulisannya dalam rentang antara tahun 1970-an sampai 2009 memiliki daya tarik tersendiri. Umumnya berintikan keprihatinan terhadap potret demokrasi Indonesia yang diungkapkan berdasarkan pengalaman apa yang dirasakan dan disaksikan dengan mata pisau analisis kepenyairan sebagai salah satu bentuk ekspresi.

Sekali lagi, membaca Soneta Comberan adalah membaca Indonesia secara makro. Sarat dengan orang yang bertingkah basa-basi dan ada di mana-mana. Itu bisa siapa saja mengalaminya dan dalam kondisi apa saja, bahkan basa-basi sudah menjadi bagian dari kehidupan. Untuk itu Nooral Baso hanya mengucapkan selamat datang basa-basi dalam mengawali puisi Basa-Basi 2009 sebagai lanjutan basa-basi lima tahun sebelumnya.

Selamat datang basa-basi
kau datang lagi
dan memang kau tak pernah pergi
apalagi lari
kau cuma ngumpet di balik hati
berdendang dalam ramai
menghasut dalam sepi

(Basa-Basi 2009, bait pertama)

Palu, 2009 (Catatan Penutup Soneta Comberan Kumpulan Puisi Nooral Baso)

Tidak ada komentar: