Minggu, 21 Maret 2010

MENGGUGAT KEBUDAYAAN TADULAKO (Sebuah Pengatar Persiapan Penerbitan)



BUKU ini bukanlah satu kesatuan yang utuh membahas satu pokok persoalan seni dan budaya. Melainkan kumpulan dari sebagian kecil tulisan yang pernah dipublikasikan di surat kabar terbitan Palu selama satu dasawarsa lebih, yakni antara tahun 1993-2010.
Tulisan dalam buku ini pernah dipublikasikan di Koran MAL (1993-2007), Mingguan Pelopor Karya (1995 – 1998), Koran MADANI (2006-2007), Harian Radar Sulteng (2007/2008) dan Harian Mercusuar (2009/2010). Semuanya berbicara tentang problem dan dinamika seni dan budaya yang cukup menonjol pada masa penulisan artikel sebagai saksi, aksi dan reaksi penulis
terhadap peristiwa, baik dalam bentuk aktivitas maupun wacana publik dan menjadi polemik yang cukup menarik dan kontroverial.

Penerbitan kembali dimaksudkan untuk mengaktualisasikan sejumlah gagasan dan peristiwa seni budaya yang pernah mengemuka di masyarakat, namun dilupakan begitu saja akibat tidak adanya catatan dalam bentuk pustaka. Surat kabar yang masa edarnya pendek dan cepat berlalu seiring terbatasnya daya ingat manusia walaupun suatu peristiwa sering berulang. Dari peristiwa beberapa tahun lalu masih sangat relevan dengan apa yang sedang dan akan dilakukan saat ini dan mendatang. Itulah yang menjadi bagian dari sejarah manusia dan kita tak boleh melupakan sejarah, minimal sejarah perjalanan diri sendiri.

Buku ini merupakan karya jurnalistik khusus seni budaya yang kadang dianggap bidang liputan atau rubrik yang “kering,” ada yang menilai tidak bersentuhan langsung dengan urusan ekonomi sehari-hari. Tidak heran kalau penulis atau wartawan yang berminat dengan soal seni dan budaya kurang mendapat perhatian sebagai sajian penting dalam surat kabar terbitan di Kota Palu. Akibatnya banyak peristiwa seni budaya yang kadang berisi pergolakan pemikiran atau polemik yang patut jadi bahan diskusi dan catatan perkembangan pemikiran kebudayaan, kadang terlewatkan begitu saja. Kalau pun mendapat liputan, biasanya hanya dalam bentuk serimonial semata tanpa memahami kemungkinan ada kekisruhan di balik suatu peristiwa yang patut diketahui pembaca sebagai pelajaran. Sayang kita kadang rabun sejarah, menganggap hanya kelompok sendiri atau pada masa kehadiran kelompok tertentu yang melahirkan gagasan atau perdebatan cukup hebat. Semua keegoan itu perlu ada peringatan untuk saling belajar dan memahami terutama antargenerasi. Setidaknya buku ini menjadi salah satu catatan penting.
Kumpulan karya jurnalistik ini sekaligus melengkapi khazanah pustaka daerah yang masih minim. Minimal menjadi bahan bacaan untuk memahami beberapa perdebatan soal seni dan budaya yang pernah terjadi di Kota Palu dan memperkaya wacana publik, khususnya kalangan seniman dan budayawan.
Mulanya sangat sulit memberi judul buku yang isinya cukup beragam walaupun fokusnya di bidang seni dan budaya. Setelah melalui pertimbangan dan masukan beberapa sahabat, akhirnya penulis memberi judul MENGGUGAT KEBUDAYAAN TADULAKO Catatan Kritis Peristiwa Seni dan Budaya. Judul ini diimplementasikan dari beberapa artikel yang membahas soal gagasan seorang tokoh pers dan pendidikan di Kota Palu, H. Rusdy Toana (alm) tentang keinginannya membentuk yang namanya Kebudayaan Tadulako pada tahun 1996. Gagasan yang bermaksud merangkul beberapa etnis dengan masing-masing latar belakangnya di Sulteng dengan harapan ada kesepakatan puncak sebagai satu kebudayaan bernama Tadulako.
Rusdy Toana pencetus yang mendapat dukungan dari beberapa tokoh daerah di Sulteng itu membuahkan polemik. Pro-kontra bukan saja di antara tokoh bersangkutan yang ikut membicarakan, tapi juga kalangan akademisi dan budayawan, secara terang-terangan menyatakan menolak gagasan Kebudayaan Tadulako. Polemik ini terjadi dalam bentuk respon dan proaktif penulis yang melakukan wawancara beberapa tokoh yang terlibat dalam diskusi gagasan Rusdy Toana, kemudian dipublikasikan di Mingguan Alkhairaat (MAL) waktu itu dan sebaliknya mendapat tanggapan dari Harian Mercusuar yang dipimpin Rusdy Toana. Di buku ini ditampilkan sebuah Tajuk Rencana Harian Mercusuar edisi Rabu 12 Juni 1996 yang merupakan satu-satunya tulisan bukan dari saya, yaitu berjudul “Menjawab Kritikan Budayawan.” Dimaksudkan melengkapi penjelasan Rusdy Toana tentang kritikan yang ditujukan pada gagasannya.
Itu hanyalah salah satu dari sejumlah peristiwa seni dan budaya yang jadi polemik maupun penolakan atau kecaman publik sebagai dinamika sosial yang membuat orang gelisah. Ada pula masa dimana pejabat kebudayaan di Palu yang gelisah dan kehilangan kebebasannya sehingga mengorbankan ekspresi orang lain. Pernah sebuah naskah teater yang seyogianya dipentaskan di Taman Budaya Sulteng, akhirnya ditolak karena di dalam cerita dianggap melecehkan tokoh Tadulako.
Ada pula beberapa pertunjukan teater mendapat sorotan dan kecaman disebabkan selain penafsiran soal tokoh cerita yang berdasarkan legenda dan sejarah yang berbeda antara penulis naskah dan penonton. Persiteruan antarseniman dalam soal lembaga kesenian dan berbagai event yang mendapat sorotan, tak ketinggalan menjadi bahasan dalam catatan penulis di buku ini. Beberapa event yang pernah ditampilkan, di antaranya muncul suara-suara penolakan walaupun kadang terlambat.
Kumpulan tulisan ini tentu tidak luput dari kekeliruan dalam penyajian. Tapi inilah salah satu upaya mengaktualisasikan kembali persoalan seni budaya sebagai bagian tanggungjawab pengembang budaya. Karya ini sekaligus persembahan buat pembaca tentang kerja serius membicarakan masalah seni budaya dari pengalaman saya selama 20 tahun di dunia kewartawanan, namun yang ditampilkan hanya tulisan antara tahun 1993-2010. Waktu yang terbilang belum begitu lama, tapi memiliki makna tersendiri dalam membaca dan mencatat sedikit perjalanan zaman.
Dengan demikian segala dukungan moral dan materil dari seluruh pihak dalam proses penerbitan buku ini, saya mengucapkan terima kasih.

Tidak ada komentar: