Kamis, 07 Oktober 2010

BAHASA PENDAU TERANCAM PUNAH


DONGGALA-Salah satu di antara puluhan bahasa dan sub dialek bahasa yang ada di Kabupaten Donggala yaitu Bahasa Pendau, namun kurang dikenal dibanding bahasa lainnya. Bahkan lebih ironis lagi kini bahasa yang penuturnya diperkirakan kurang dari seribu orang itu sudah  terancam punah, sehingga kemungkinan beberapa tahun ke depan tidak lagi digunakan penuturnya.
Keprihatinan tersebut diungkapkan ahli bahasa dari Fakultas Sastra Universitas Alkhairaat, Tjatjo Tuan Saichu pada penulis belum lama ini. Menurutnya, dari beberapa bahasa daerah yang ada di Kabupaten Donggala yang terancam punah itu seharusnya pemerintah daerah maupun lembaga kebahasaan melakukan pengkajian dan penelitian untuk pelestarian.
 “Sebab setahu saya belum pernah ada penelitian khusus mengenai bahasa Pendau, padahal bahasa ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki Sulawesi Tengah, sehingga sangat disayangkan kalau punah,” kata Tjato prihatin.
Lebih lanjut TS. Atjat, nama kepenyairan Tjatjo kalau saja bahasa-bahasa itu dilestarikan dengan berbagai cara, di antaranya dilakukan motivasi pada penuturnya terutama generasi muda dan dilakukan penyusunan semacam kamus, bisa menyelamatkan dari kepunahan. Namun diakui Ts. Atjat, Bahasa Pendau yang terancam tidak lepas dari adanya pengaruh dominasi dari bahasa-bahasa suku pendatang maupun bahasa asli sekitar permukiman pendau.
Berdasarkan tim survey bahasa-bahasa Sulawesi tengah tahun 1978 yang diketuai budayawan masyhuddin Masyhuda, bahasa pendau diklasifikasikan dialek dari bahasa Balaesang yang penuturnya biasa pula disebut orang Pendau. Secara geografis mendiami wilayah Kecamatan Balaesang terutama antara Desa Tambu dan Siweli. Selain itu terdapat pula pada beberapa tempat di Kecamatan Dampelas dan Kecamatan Sojol, Kabupaten Donggala.
Menurut Ts. Atjat bahasa Pendau kadang pula digolongkan sebagai bagian dari sub dialek bahasa Kaili sebagai induknya, dengan kata sangkat Ndau. “Tidak bisa dipungkiri bahasa Pendau hampir punah dan jarang digunakan disebabkan terjadinya akulturasi dan derasnya pengaruh kebudayaan dari suku-suku pendatang yang lebih mendominasi komunitas pendau yang kecil, lagi pula secara pendidikan mereka kurang maju, sehingga harus lebih  banyak dilakukan pembinaan,” ungkap Tjatjo.
Mulanya orang Pendau hidup terisolasi di lereng-lereng pegunungan dan hidup sebagai petani dan pencari rotan, namun belakangan sudah berbaur dengan suku pendatang, terutama sejak dilakukan pembinaan dari Dinas Sosial Sulawesi Tengah seperti di Desa Panggalasiang, Kecamatan Sojol.  (JAMRIN AB)




2 komentar:

Unknown mengatakan...

maimo ito joojo nosiagarang

Unknown mengatakan...

ra pertahankan oto adat oto ala nya naapate....